Notification

×

Iklan

Iklan

Puasa Tarwiyah dan Arafah, Bagaimana Kedudukannya dalam Peribadatan?

Rabu, 04 Juni 2025 | 10:21 WIB Last Updated 2025-06-04T03:21:12Z

Puasa Tarwiyah dan Arafah, Bagaimana Kedudukannya dalam Peribadatan?
Ilustrasi Bulan Tanggal 8 dalam Hijiriyah/Foto. Ilustrasi Redaksi/akuratnews.id


AKURATNEWS.ID, JAKARTA - Puasa diakui menjadi salah satu peribadatan tertinggi dalam keyakinan agama Islam. Jika seluruh peribadatan dapat dihitung dalam nominal pahala setelah dilakukan, berbeda dengan puasa. Puasa menjadi ibadah yang menjadi hal proregratif Allah SWT dalam ganjarannya.  

 

Dari Abu Hurairah RA., Rasulullah SAW., bersabda: "Allah 'Azzawajalla berfirman -dalam hadits qudsi: "Semua amal perbuatan anak Adam-yakni manusia- itu adalah untuknya, melainkan berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan balasan dengannya. Puasa adalah sebagai perisai -dari kemaksiatan serta dari neraka. Maka dari itu, apabila pada hari seseorang diantara engkau semua itu berpuasa, janganlah ia bercakap-cakap yang kotor dan jangan pula bertengkar. Apabila ia dimaki-maki oleh seorang atau dilawan dengan bermusuhan, maka hendaklah ia berkata: "Sesungguhnya saya adalah -sedang- berpuasa.”

 

Dalam hadis riwayat Imam Bukhari disebutkan: Allah berfirman dalam hadits qudsi: "Orang yang berpuasa itu meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena taat pada perintahKu Allah. Puasa adalah untukku (Allah) dan Aku akan memberikan balasannya, sedang sesuatu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipat gandanya."

 

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan: "Setiap amal perbuatan anak Adam yakni manusia itu, yang berupa kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya dengan sepuluh kalinya sehingga tujuh ratus kali lipatnya." Allah Ta'ala berfirman: "Melainkan puasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untukKu dan Aku akan memberikan balasannya. Orang yang berpuasa itu meninggalkan kesyahwatannya, juga makanannya semata-mata karena ketaatannya pada perintahKu. Seorang yang berpuasa itu mempunyai dua macam kegembiraan, sekali kegembiraan di waktu berbukanya dan sekali lagi kegembiraan di waktu menemui Tuhannya. Sesungguhnya bau bacin mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi."

 

Dalam Islam, puasa adalah menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual, dan segala hal yang membatalkannya, dengan niat khusus dan memenuhi syarat-syarat tertentu. Yang mana, secara jelas Allah memerintahkan ibadah puasa khusus kepada kaum beriman, seperti yang tertuang di dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 183. Ayat ini berbunyi: "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa."

 

Lalu bagaimana dengan puasa Tarwiyah, yang diyakini sebagai ibadah sunah namun memiliki posisi yang tak kalah penting dalam puasa Ramadhan yang menjadi ibadah wajib bagi seluruh manusia yang berkeyakinan sebagai muslim?

 

Puasa Tarwiyah

 

Dilansir dari laman Jabar NU, ada tiga pendapat di balik penamaan hari Tarwiyah:

Karena Nabi Adam ‘alaihissalâm diperintah untuk membangun sebuah rumah, maka ketika ia membangun, ia berpikir dan berkata, ‘Tuhanku, sesungguhnya setiap orang yang bekerja akan mendapatkan upah, maka apa upah yang akan saya dapatkan dari pekerjaan ini?’ Allah subhânahu wata’âlâ menjawab: ‘Ketika engkau melakukan thawaf di tempat ini, maka aku akan mengampuni dosa-dosamu pada putaran pertama tahwafmu.’ Nabi Adam ‘alaihissalâm memohon, ‘Tambahlah (upah)ku’. Allah menjawab: ‘Saya akan memberikan ampunan untuk keturunanmu apabila melakukan tahwaf di sini’. Nabi Adam ‘alaihissalâm memohon, ‘Tambahlah (upah)ku’. Allah menjawab: ‘Saya akan mengampuni (dosa) setiap orang yang memohon ampunan saat melaksanakan thawaf dari keturunanmu yang mengesakan (Allah).’  

Sesungguhnya Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm bermimpi ketika sedang tidur pada malam Tarwiyah, seakan hendak menyembelih anaknya, maka ketika waktu pagi datang, ia berpikir apakah mimpi itu dari Allah subhânahu wata’âlâ atau dari setan? Ketika malam Arafah mimpi itu datang kembali dan diperintah untuk menyembelih, kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm berkata, ‘Saya tahu wahai Tuhanku, bahwa mimpi itu dari-Mu’.  

Sesungguhnya penduduk Makkah keluar pada hari Tarwiyah menuju Mina, kemudian mereka berpikir tentang doa-doa yang akan mereka panjatkan pada keeseokan harinya, di hari Arafah.” (Fakhuddin Ar-Razi, Tafsîr Mafâtîhul Ghaib, [Bairut, Darul Fikr: 2000], juz V, halaman 324).

 

Di dalam kitab Faidhul Qadir Syarh Jami’is Shaghir yang ditulis Syekh Abdurrauf al-Munawi, dijelaskan, bahwa puasa pada hari Tarwiyah, pada tanggal delapan Dzulhijjah, dapat menghapus dosa selama setahun.

 

Tata Cara, Niat, dan Keutamaannya dengan mendasarinya pada hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, “Tidak ada hari-hari yang lebih Allah sukai untuk beribadah selain sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, satu hari berpuasa di dalamnya setara dengan satu tahun berpuasa, satu malam mendirikan shalat malam setara dengan shalat pada malam Lailatul Qadar.”

 

Puasa Arafah

 

Terkait Puasa Arafah, adalah puasa umat Islam pada Hari Arafah, yaitu hari kesembilan dari bulan Zulhijah. Puasa ini sangat dianjurkan bagi umat muslim yang tidak pergi haji, sebagaimana terdapat dalam riwayat Nabi Muhammad SAW tentang puasa Arafah:

 

Dari Abu Qatadah Al-Anshariy (ia berkata),” Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah di tanya tentang (keutamaan) puasa pada hari Arafah?” Maka dia menjawab, “ Menghapuskan (kesalahan) tahun yang lalu dan yang sesudahnya.” (HR. Muslim no.1162 dalam hadits yang panjang)

 

Puasa Arafah sendiri merupakan ibadah sunnah yang sangat dianjurkan bagi umat Islam yang tidak sedang berhaji. Bagi jemaah haji yang sedang wukuf di Arafah, tidak dianjurkan untuk berpuasa karena ibadah utama mereka adalah berdoa.

 

Sebagai penutup dari artikel ini, redaksi Akuratnews.id, mengutip Hadits nabi Muhammad SAW, terkait keutamaan berpuasa. Dari Abu Said RA.: "Rasulullah SAW., bersabda: "Tiada seorang hambapun yang berpuasa sehari dengan niat fisabilillah -yakni semata-mata menuju kepada ketaatan kepada Allah-, melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya -yakni dirinya- karena puasanya tadi, sejauh perjalanan tujuh puluh tahun dari neraka," (muttafaq 'alaih).

Wallahu’alam