Ilustrasi aktivitas pelabuhan/dok IPC/akuratnews.id |
AKURATNEWS.ID, JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi nasional hingga 8 persen, dinyatakan dapat dicapai jika pemerintah mau untuk membangun kawasan industri yang terintegrasi dengan pelabuhan, di lokasi yang dilewati oleh alur pelayaran internasional.
Dinyatakan dampak dari pembangunan kawasan industri ini tak hanya mampu membuka lapangan pekerjaan tapi juga mampu menambah pundi-pundi negara.
Anggota Komisi VII DPR RI, Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono menyatakan untuk mendukung rencana pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen, Pemerintah harus mengembangkan sektor industri, baik melalui kebijakan maupun pembangunan infrastruktur.
"Pemerintah harus mendukung pertumbuhan dan penguatan industri. Jangan pemerintah mengenakan pajak yang terlalu besar. Karena jika industri itu tumbuh, pajak yang akan diterima pemerintah pasti akan meningkat. Tanpa pemerintah harus menaikkan besaran pajaknya," kata Bambang Haryo, Jumat (24/10/2024).
Dan jika industri bertumbuh, maka secara otomatis akan membuka lapangan pekerjaan dan sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar industri tersebut. Jika pendapatan masyarakat meningkat, maka akan mendorong daya beli.
"Saya sudah lama mengharapkan, Indonesia bisa memiliki kawasan industri berskala internasional yang terbesar di dunia dan berlokasi di jalur ALKI kita," ujarnya.
Bambang Haryo menyatakan di jalur ALKI I yaitu Selat Malaka, ada 120 ribu kapal yang melewatinya setiap tahun dan menjadi lalu lintas 100 juta Teus peti kemas atau sekitar 60 persen dari total jumlah pelayaran di seluruh dunia.
"Itu melewati perairan kita. Peluang itu ditangkap oleh Malaysia dan Singapura. Singapura itu sengaja membangun pelabuhan untuk menampung itu semua, walaupun negara itu sendiri tidak memiliki industri besar. Seperti membangun bunker BBM untuk kapal-kapal yang melewati Selat Malaka dari Jepang, Korea, China, Taiwan, Hongkong hingga Filipina, dengan tujuan India, Afrika hingga Eropa. Singapura itu mampu menampung 31 juta Teus setiap tahunnya," ujarnya lagi.
Sementara, Malaysia memiliki Pelabuhan Tanjung Pelepas yang terintegrasi dengan kawasan industri besar, dengan kapasitas 25 juta Teus. Tak hanya dari pengusaha China, tapi juga dari pengusaha Eropa yang membuka industrinya di kawasan tersebut.
Selain itu, Malaysia juga memiliki Port Klang yang memiliki kapasitas 15 juta Teus dan Pelabuhan Penang yang memiliki kapasitas 2,5 hingga 3 juta Teus atau setara dengan kapasitas Pelabuhan Tanjung Perak.
"Coba saja hitung dari belanja orang-orang kapal itu. Mulai makan, penginapan, hingga jasa lainnya yang mereka manfaatkan selama labuh atau bongkar muat di Singapura atau Malaysia. Para pengusaha pun mendapatkan keuntungan dengan semakin pendek jarak tempuh kapal industrinya maka waktu perjalanan lebih pendek, semakin murah pula biaya pelayaran, dan semakin terjaga keamanan barangnya," kata Bambang Haryo.
Ia mengharapkan Indonesia pun bisa memiliki kawasan industri yang terintegrasi dengan jalur pelayaran internasional dan didukung oleh fasilitas pelabuhan yang mumpuni.
"Sehingga negara-negara Eropa, Amerika, China, Korea, bisa masuk ke kawasan industri kita itu. Jika itu bisa diwujudkan, jangan hanya 8 persen, pertumbuhan ekonomi 10 persen pun bisa diwujudkan. Itu yang BHS pengen. Saya sudah memproyeksikan ini sebelum Tanjung Pelepas itu dibangun," ungkapnya.
BHS menyatakan pemerintah Indonesia harus mengantisipasi rencana pembangunan Terusan Kra, yang rencananya akan dibangun di Tanah Genting Kra oleh Thailand dan China. Jalur melalui Terusan Kra ini bisa menghemat perjalan hingga 3 hari.
"Jika Terusan Kra itu jadi, maka jalur Selat Malaka itu bisa mati. Dan Indonesia harus bisa mengantisipasinya dengan membangun kawasan industri terintegrasi di Aceh. Kenapa Aceh, karena masih dalam satu alur pelayaran dengan Terusan Kra itu, jika kapal berlayar menuju India, Afrika, maupun Eropa. Dan ada wilayah perairan Aceh yang memiliki kedalaman hingga lebih 16 meter, yang memungkinkan kapal-kapal generasi 5 dengan panjang kapal 300 hingga 400 meter untuk berlabuh, tanpa perlu dilakukan pengerukan," ungkapnya lagi.
Ia membandingkan dengan Pelabuhan Patimban yang menghabiskan biaya lebih dari Rp40 triliun tapi hingga saat ini belum juga melayani kapal peti kemas.
"Dengan 40 triliun itu seharusnya Indonesia sudah memiliki pelabuhan skala internasional yang terintegrasi dengan kawasan industri terbesar, untuk menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bandingkan dengan New Port Makassar, dengan kapasitas 2-3 juta Teus, itu hanya butuh 4 triliun. Kalau saya, saya akan bangun Pelabuhan Hub terbesar di dunia yang dilewati pelayaran internasional, dengan dana sebesar itu," kata Bambang Haryo.
BHS mengingatkan, Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono pernah merencanakan untuk membangun Pendulum Nusantara, yaitu suatu program pembangunan transportasi laut terintegrasi mulai dari Aceh, Medan, Jakarta, Surabaya, Makassar hingga Jayapura.
"Dengan pembangunan kawasan industri yang terintegrasi dengan pelabuhan ini, sudah pasti akan membuka lapangan pekerjaan. Jika dimisalkan ada 10 ribu industri asing yang hadir di kawasan industri tersebut, dengan asumsi satu industri membutuhkan 1000 pekerja, maka akan terbuka 10 juta lapangan pekerjaan bagi orang Indonesia," pungkasnya.(Vito Zabdiel)