AKURATNEWS. ID, JAKARTA - Pengesahan UU Kesehatan yang dilakukan oleh DPR RI beberapa waktu lalu, dinilai akan menjawab sebagian permasalahan kesehatan di Indonesia.
Diharapkan, kedepannya, UU Kesehatan ini dapat disempurnakan sehingga dapat menjadi bagian dalam mencapai ketahanan kesehatan Indonesia secara jangka panjang.
Pengamat Kesehatan Publik, Fajri Azhari menyatakan, dengan mengikuti perkembangan RUU ini sejak masuk prolegnas DPR pada 14 Februari lalu, terlihat jelas ambisi Kemenkes dan DPR dalam waktu singkat, yaitu kurang dari 5 bulan, mampu menciptakan omnibus law kesehatan dengan pro kontra yang akan terus berlanjut.
Sementara, di lapangan masih ada pihak yang belum terakomodir dan tetap menyuarakan aspirasinya, walaupun berbeda pendapat seperti IDI dan beberapa organisasi profesi lainnya.
"Salah satu akar munculnya UU Kesehatan disebabkan oleh minimnya jumlah dokter atau tenaga kesehatan (nakes) di Indonesia. Data profil tenaga kesehatan yang diupdate per 11 juli 2023 dari BPPSDMK Kemenkes memperlihatkan, dari 9 jenis nakes yang ada di puskesmas hanya perawat dan bidan yang sudah lengkap. Sementara 7 jenis nakes lainnya masih kurang," kata Fajri, beberapa waktu lalu.
Ia mengungkapkan, secara nasional, sebaran puskesmas dengan 9 jenis nakes lengkap baru mencapai 41,65 persen dari 4.352 puskesmas. Wilayah Indonesia bagian timur merupakan daerah dengan persentase nakes lengkap terendah dimana hanya 0 sampai 15 persen.
"Misal di Papua, baru 4,93 persen puskesmas yang memiliki nakes lengkap dari 467 puskesmas dan hampir separuh puskesmas, yakni 41,11 persen yang ada disana beroperasi tanpa dokter," paparnya.
Jika dilihat dari rasio nakes prioritas per 1.000 penduduk, sebagian besar nakes belum memenuhi standar ideal dengan perbandingan 1 : 1.000. Nakes dengan rasio di bawah standar antara lain dokter 0,69, dokter gigi 0,64, farmasi 0,43, kesehatan masyarakat 0,26, ahli teknologi laboratorium medis (atlm) 0,22, gizi 0,14, dan yang terendah yaitu kesehatan lingkungan 0,11.
"Dari data itu, kita dapat menilai urgensi UU tersebut. Terdapat korelasi antara kebutuhan tenaga kesehatan dengan diberlakukannya liberalisasi pelayanan kesehatan. Tinggal bagaimana institusi pendidikan mampu menghasilkan tenaga kesehatan dengan kualitas terbaik dalam jumlah yang banyak, terutama bagi nakes yang masih minus dan belum merata," paparnya lagi.
Fajri mengemukakan terkait mandatory spending yang dihapus dalam kebijakan terbaru, yang sebelumnya belanja kesehatan mendapat alokasi 5 persen dari APBN menjadi bola liar yang berujung pada kompetisi pasar bebas yang pada umumnya "disukai" oleh pengusaha di bidang kesehatan.
"Namun, dapat merugikan masyarakat kurang mampu yang membutuhkan pelayanan kesehatan," kata Fajri.
Ia menambahkan keberadaan UU Kesehatan yang baru disahkan ini memang baru menjawab sebagian saja dari permasalahan kesehatan yang ada di Indonesia.
"Baru menjawab sebagian. Salah satunya kepastian perawatan kesehatan bagi masyarakat kecil," ujarnya.
Fajri juga mengemukakan UU Kesehatan ini pun masih terbuka untuk dilakukan perbaikan atau perubahan atau penambahan.
"Kemungkinan akan ada judicial review di MK dari beberapa organisasi profesi kesehatan, seperti IDI, PPNI, IBI, atau yang lainnya," pungkasnya.