Notification

×

Iklan

Iklan

Perokok Pasif Harus Berani Bersuara Merokok Menjadi Perilaku Asosial

Kamis, 16 Maret 2023 | 21:23 WIB Last Updated 2023-03-16T14:25:00Z

Diskusi "Perokok Pasif dlm Diam Menyimpan Bencana"


AKURATNEWS.ID, JAKARTA – Seandainya perokok pasif lebih asertif dan berani menyuarakan ketakutan mereka terhadap bahaya asap rokok, maka perilaku  merokok tidak lagi dianggap sebagai perilaku normal. Justru sebaliknya merokok akan ditasbihkan sebagai perilaku asosial. 


Dengan perubahan persepsi tersebut diharapkan upaya-upaya untuk melindungi masyarakat dari bahaya rokok akan semakin kuat. Khususnya peran Negara, yang seharusnya hadir dalam bentuk regulasi yang kuat, untuk melindungi kesehatan masyarakat khususnya dari bahaya zat adiktif.


Demikianlah benang merah yang mengerucut dari acara diskusi dan nonton bareng video dokumenter bertajuk “Perokok Pasif, Dalam Diam Menyimpan Bencana” yang diadakan Lentera Anak bersama BEM Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI, pada Kamis, 16 Maret 2023, bertempat di Aula Gedung A, FKM UI, Kampus Depok, Jawa Barat.


Persoalan perokok pasif di Indonesia menjadi hal problematik di Indonesia. Hasil survei global penggunaan tembakau pada usia dewasa (Global Adults Tobacco Survey-GATS) yang dilaksanakan tahun 2011 dan diulang pada tahun 2021 dengan melibatkan sebanyak 9.156 responden menunjukkan prevalensi perokok pasif  tercatat 120 juta orang. 


Sebelumnya, pada tahun 2018, Data Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) pada tahun 2018 menyebutkan ada 40 juta balita menjadi korban perokok pasif.



97% Terpapar


Hasil jajak pendapat Lentera Anak & U-Report UNICEF (2022) menemukan 97% terpapar asap rokok alias menjadi perokok pasif.  Sayangnya, meskipun sadar menjadi perokok pasif, mayoritas responden (84,7%) tidak menegur langsung perokok untuk berhenti merokok di dekat mereka. 


Mereka hanya menyikapi dengan menutup hidung, menjauh dari asap rokok dan perokok, dan bahkan diam saja, meskipun mengetahui asap rokok berbahaya. Ini menunjukkan betapa perokok pasif tidak berdaya dan tidak bersuara untuk melindungi dirinya dari paparan asap rokok.




Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak, menegaskan bahwa berbagai upaya advokasi perlindungan masyarakat dari bahaya rokok terus dilakukan, namun belum terlihat dampak perubahan signifikan.


Ia menjelaskan, dalam 10 tahun terakhir prevalensi perokok anak di Indonesia terus meningkat. Data Riskesdas 2018 menunjukkan perokok anak meningkat menjadi 9,1% (3,2 juta anak), dan Bappenas mempredikasi pada 2030 perokok anak bisa mencapai 15,9 juta. “Ini masalah  serius di masa mendatang, mengingat rokok bersifat adiktif dan faktor resiko penyakit tidak menular juga akan menjadi  beban ekonomi  sehingga akan mengancam kualitas SDM,” jelas Lisda.


“Kita membutuhkan upaya-upaya lebih serius untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa perokok pasif merupakan bencana tersembunyi karena ketidakberdayaannya,” tegas Lisda.


Dr. dra. Rita Damayanti, MSPH, Ketua Perkumpulan Promotor & Pendidik Kesehatan Masyarakat Indonesia (PPPKMI), menegaskan bahwa masyarakat Indonesia masih menganggap merokok sebagai perilaku sosial yang normal. “Disamping itu ada sikap budaya kita yang sungkan, eweuh pakeweuh,  yang membuat kita seringkali sungkan menegur perokok, padahal kita ini sudah menjadi korban paparan asap rokok,” ujar Rita.


Sehingga, Rita mengingatkan bahwa perokok pasif seharusnya lebih asertif dan berani bersuara. Karena tanpa berdaya para perokok pasif akan terus menjadi korban selamanya. “Sudah waktunya untuk mengubah perilaku merokok dari yang tadinya dianggap sebagai perilaku sosial menjadi perilaku asosial,” tegasnya.


Julius Ibrani, Ketua PBHI, yang juga menjadi salah satu narasumber menegaskan bahwa Negara sudah lalai melindungi masyarakat. “Justru di saat Negara lalai ini yang dibutuhkan adalah resistensi kita sebagai warga. Dan dalam kondisi resisten, kita seharusnya menyerang balik, karena kita punya hak asasi untuk mendapatkan udara bersih,” tegasnya.


Hanya masalahnya, kata Julius, saat ini para perokok merasa nyaman karena mereka merasa berada di dalam wilayah lokalisasi merokok. 


“Karena perokok merasa Indonesia adalah Kawasan lokalisasi merokok maka mereka merasa punya hak untuk merokok,” ujarnya. Sehingga yang dibutuhkan menurut Julius dalah upaya untuk meningkatkan standar bahwa Indonesia itu bukanlah Kawasan lokalisasi merokok, diantaranya dengan menegakkan regulasi, agar para perokok tidak merasa Indonesia sebagai tempat yang nyaman untuk merokok.


Masyarakat, tegas Julius, seharusnya melawan dengan melakukan gugatan kepada Pemerintah supaya regulasi bisa ditegakkan. Ia mencontohkan kasus gugatan yang disampaikan oleh warga di 3 provinsi, yakni provinsi Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta, yang berhasil menggugat Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat untuk memenuhi hak atas udara bersih.


Margianta SJD, Direktur Eksekutif Emancipate Indonesia, menyatakan kaum muda saat ini sangat frustasi menghadapi kebijakan Pemerintah yang tidak pro pada kesehatan masyarakat. Ia mengajak seluruh masyarakat untuk bersuara, meneriakkan keresahan dan permasalahan agar dapat didengar oleh Pemerintah.


“Kita bisa memulai hal  itu dari level komunitas kita. Ajak lingkungan kita untuk berhenti merokok, suarakan untuk menghilangkan ketidaknyamanan karena rokok tersebut kepada pimpinan kita,” tegas Margianta.


Di tahun politik 2023 ini, Margianta mengharapkan masyarakat dapat memilih pemimpin yang betul-betul berkomitmen untuk melindungi kesehatan masyarakat. “Jangan memilih figur yang tidak peduli dan semakin membuat kita frustasi,” ujarnya.


Lisda Sundari menegaskan, saat ini adalah waktu yang tepat bagi masyarakat untuk lebih berdaya. “Karena dengan tidak hadirnya Pemerintah melindungi Kesehatan masyarakat, maka masyarakatlah yang harusnya lebih keras bersuara. Kita percaya dorongan yang kuat dari masyarakat perlahan tapi pasti akan dapat mengubah perilaku, norma dan budaya menjadi lebih sehat dan  berpihak kepada rakyat,” pungkasnya.