Penampilan toko pakaian di Pasar Tana Abang Jakarta/Istimewa
AKURATNEWS.ID, JAKARTA - Para pedagang tekstil masih gundah untuk menampilkan produk-produk mereka dalam tayangan terbaik di era digital ini. Bukan hanya soal tidak mengerti teknologi namun pemasaran yang konvensional masih jadi patokan dalam berwirausaha.
Misalnya Varel, pemilik toko di kawasan Slipi, Jakarta Barat
ini mengaku sempat kebingungan untuk memberikan foto yang ciamik dalam
memasarkan produknya. Penggunaan foto lama dengan tampilan ala kadar memang
tidak cukup menarik mata para pelanggan.
Kini, Demosta, sebagai brand baru mampu mengejar pemasaran
kontemporer yang telah merajai industri. Apalagi, nama Demosta sendiri adalah
hasil rebranding dari Venezia.
Proses rebranding ini juga bukan menjadi hal yang sulit
untuk Varel. Diskusi bersama Jakarta Foto Produk Jakarta (JFPJ) mengubah
pandangannya untuk memasarkan produk sandang tersebut.
"Kita sudah rebranding jadi Demosta di shopee ama
tokped karena di awal kita ga ada foto katalog khusus atau foto khusus in house
sangat terbantu lah. Kita meskipun rebranding pake foto katalog yang lama juga
masih bagus," katanya saat ditemui, Jumat (17/3).
Belum lagi, pemilik Toko Krisna Wahyu, Bertha juga mengalami
pergumulan serupa untuk memasarkan produknya. Usahanya untuk masik ranah
digital pun, tidak diambil pusing, beberapa fotonya sudah menjadi katalog yang
memudahkan usahanya.
"Setelah ada foto sih, produknya jadi bisa lebih
menarik, karena baju itu harus dipakai dulu baru keliatan bagus. Terus jualan
juga lebih gampang," ujarnya.
Sementara bagi Zizi, sang pemilik Qasidah brand, Tidak asing
baginya untuk beradu sikut dalam menjajakan produknya.
Lantaran, Qasidah sudah berfokus pada ranah daring sejak
lama. Sayangnya, itu saja tidak cukup untuk mendongkrak usahanya sendiri.
Berbagai konten langsung dibuat oleh JFPJ untuk mewujudkan
mimpinya tersebut. Dalam format reels di media sosial seperti Instagram, siapa
sangka kini dapat memanjakan mata pelanggannya.
"Jadi punya katalog yang menarik banget. Kita bikin
reels jadi sangat menarik," tuturnya dengan gelak tawa.
Terkait hal ini, Henry Siagian dari JFPJ memandang, langkah
pemasaran yang diberikan kepada para pemilik toko itu sudah sepatutnya berjalan
demikian. Maka dari itu, JFPJ dilahirkan sebagai tim kreatif supaya mereka
dapat bermigrasi ke dunia digital lebih mudah.
Ia tidak ingin ketika para pedagang ini diminta untuk
bersaing dalam dunia digital menjadi tuntutan yang memberatkan. Apalagi dengan
tidak adanya solusi yang mudah dilakukan bagi mereka.
"Buat UMKM sadar bahwa memang harus pindah ke digital
itu kebutuhannya. Tapi yang di toko tetap harus jalan," kata Henry dengan
gestur santai.
Henry menyampaikan, proses migrasi itu akan dituntun JFPJ
mulai dari foto produk, creative thinking, marketing, hingga backend website.
Ketika hal ini terwujud, para pedagang ini tidak lagi berkutat pada business to
businees melainkan langsung ke kostumernya.
Selain itu, penyediaan jasa untuk pengelolaan media sosial
sembari memberikan pemahaman juga berjalan. Pembuatan berbagai konten ciamik
dilakukan.
Pengelolaan di ranah daring tidak bisa dianggap remeh.
Membangun persepsi terkadang terlewat begitu saja dan membuat produk tersebut
juga tidak menarik perhatian jempol warganet.
"Yang jadi tantanganya para pedagang UMKM, engga tahu
harus mempresentasikan produknya seperti apa ke orang. Padahal jual offline dan
online itu beda," ujarnya.
Maka dari itu pemahaman kepada para pedagang UMKM ini
menjadi misi bagi Henry dan kawan-kawan di JFPJ. Terlebih di luar negeri, sudah
banyak konsultan pemasaran kreatif yang membantu para pedagang.
Baginya, kini giliran Indonesia untuk menjalankan skema
pemasaran masa kini. Bahkan, timnya tetap membuka ruang bagi para pedagang bila
hanya ingin sekedar berkonsultasi.
"Kita konsultasi dulu, kita kasih tahu semua. Kita sih
ga penting mau jadi apa engga, yang penting mereka sadar seberapa penting brand
image itu," katanya menandaskan.