Notification

×

Iklan

Iklan

Pemerintah Kuasai Tanah Adat, KESATUPADU Perjuangkan Haknya

Senin, 27 Februari 2023 | 20:10 WIB Last Updated 2023-02-27T13:59:24Z

Ir. Saut Mardongan Banjar Nahor Msi. Ketum Kesatupadu (tengah), didampingi Noak Banjar nahor SH. Koord. Seksi Hukum Kesatupadu (Kiri), Marudut LUMBAN Gaol. Ketua 2 kesatupadu (Kanan) saat Konferensi pers di Jakarta. 


AKURATNEWS.ID, JAKARTA - Pemerintah tengah melakukan upaya penguasaan tanah dalam kawasan hutan (PTKH) sebagai bagian dari pelaksanaan program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Namun demikian, langkah yang diambil pemerintah ini dinilai telah merugikan masyarakat adat yang diketahui sebagai pemilik tanggung jawab dalam mengelola tanah peninggalan para leluhurnya. 


Sebagai pihak yang merasa dirugikan, Keluarga Besar Perantau Parsingguran Dua (Kesatupadu) tiga tahun terakhir, telah berjuang mempertahankan hak-haknya atas lahan peninggalan para leluhurnya dalam tanah adat. Yang mana diakui, tanah adat yang kini masuk dalam program pemerintah, telah dikelola oleh masyarakat adat lebih dari 200 tahun. 


"Pengampuan kami, sudah 250 tahun yang lalu kakek moyang kami sudah mendiami, menguasai lahan tersebut. Regulasi-regulasi yang berkaitan dengan itu dalam hal ini sebelum Indonesia merdeka. Setelah itu masuk Indonesia merdeka, dan terakhir yang menjadi rujukan adalah SK menteri 493 tahun 92, tentang hutan," ungkap Noak Banjar Nahor SH. Koord. Seksi Hukum Kesatupadu, saat konferensi pers, di Rawamangun, Jakarta Timur, Minggu (26/2/23). 


"Selama ini kita memahami semua, mereka (Pemerintah-KLHK) membuat peraturan itu tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Jadi semaunya mereka menempatkan kampung, sawah, fasilitas umum, rumah ibadah jadi kawasan hutan. Jadi terkhusus ini SK 862 dan 307 semua tanpa melibatkan partisipasi publik dan masyarakat pun saat itu kami belum memahami soal hukum," lanjutnya. 


Diakui Noak, belakangan ada SK 862 yang menempatkan sebagian tanah leluhurnya, akhirnya membuat pihaknya bereaksi untuk membatalkan rencana program TORA. 


"Kami tidak menginginkan mekanisme TORA, tetapi revisi SK 579 itu kami hubungkan kembali menjadi kawasan hutan, baik kawasan hutan lindung ataupun hutan produksi. Tetapi kami menginginkan itu menjadi HPL Publik atau tanah milik adat, yang selanjutnya bisa diproses menjadi Sertifikat Hak Milik," ungkapnya. 


Bukan tanpa sebab, mengapa mekanisme TORA ditolak, karena dinilai yang ada sekarang, proses mekanisme TORA ada regulasi yang membingungkan masyarakat, yang mana di atasnya ditulis sertifikat Hak Milik, di tengahnya ditulis dikuasai langsung pemerintah. 


"Dan di bawahnya ada keterangan lahan atau sertifikat itu tidak boleh dijaminkan, dan tidak diperbolehkan dijadikan jaminan atas pelunasan hutan dari lembaga keuangan. Kami tidak mau diberlakukan seperti itu," jelasnya. 


Pihaknya berharap kepada pemerintah, untuk membuat regulasi yang mudah dimengerti oleh rakyat. Jangan membingungkan rakyat, dalam hal ini Kesatupadu tetap consern meminta kepada pemerintah, untuk merevisi SK 579 sehingga lahan yang diminta untuk dibagikan ini menjadi tanah milik adat. 


"Karena semua tanah adalah marga. Semua tanah yang ada di sana itu adalah tanah milik marga. Dan marga pasti punya tanah dan kampung. Tetapi kenyataan sekarang adalah, persawahan, perladangan, peternakan, tiba-tiba pemerintah tidak melibatkan partisipasi publik menjadikan kawasan ini menjadi kawasan hutan. Sampai hari ini, respon secara langsung kementerian lingkungan hidup tidak ada, yang ada malah memproses tanah ini menjadi TORA. Dan Bupati sebagai kepanjangan dari pemerintah pusat sama, setali tiga uang dengan pemerintahan sekarang," tegasnya. 




Jalan Panjang Perjuangan


  • Nenek moyang/leluhur Masyarakat desa Parsingguran II sejak  tahun 1.750-an atau  kira-kira 12 generasi telah berdomisili dan menguasai lahan wilayah desa Parsingguran II untuk pertanian, perkebunan, dan peternakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 


  • Pada tahun 1963, pemerintah Cq. Dinas Kehutanan telah meminta lahan kepada masyarakat Marbun Habinsaran yang terdiri atas masyarakat desa Pollung, Siriaria, Parsingguran I dan Parsingguran II agar dapat memberikan sebagian lahannya kepada pemerintah Cq. Dinas Kehutanan di Ramba Nalungunan seluas ± 2.500 Ha untuk dilakukan reboisasi yaitu penanaman pohon pinus yang bertujuan untuk menjaga kestabilan aliran Sungai Sihatunggal, sehingga tidak banjir pada waktu musim hujan dan tidak kering pada waktu musim kemarau. 


  • Lahan tersebut diserahkan oleh Tokoh-tokoh Masyarakat Marbun Habinsaran termasuk di dalamnya beberapa tokoh masyarakat Parsingguran II sesuai Surat Perjanjian 15 Oktober 1963. 


  • Pada tahun 2014, Menteri Kehutanan telah menerbitkan Surat Keputusan No. SK.579/Menhut-II/2014, di mana dalam SK tersebut wilayah desa Parsingguran II ditunjuk menjadi Kawasan Hutan   Lindung dan Hutan Produksi. 


  • Dengan ditunjuknya wilayah desa Parsingguran II menjadi kawasan hutan, maka pemerintah dalam hal ini Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengabaikan Surat Perjanjian 15 Oktober 1963, dimana pemerintah secara sepihak telah "mencaplok"/mengambil tanah masyarakat Parsingguran II di luar Surat Perjanjian 15 Oktober 1963 dan dijadikan kawasan hutan. 


  • Pemerintah juga telah mengabaikan sejarah masyarakat Parsingguran II yang sudah berdomisili di sana dan telah menguasai dan menguasai lahan tersebut secara turun temurun sejak tahun 1.750-an atau telah 12 generasi hingga sekarang. 


  • Sehubungan dengan hal tersebut, Kesatupadu telah mengajukan permohonan kepada Bapak Presiden Republik Indonesia dengan surat No. 036/ KESATUPADU/XI/2021 tanggal 24 November 2021, supaya tanah leluhur masyarakat desa Parsingguran II dikeluarkan/dilepaskan dari Kawasan Hutan, dan dikembalikan kepada masyarakat Parsingguran II sebagai pewarisnya. 


  • Pemerintah telah menanggapi surat permohonan Kesatupadu yaitu: 


  • Pada tanggal 4 Maret 2022 Kesatupadu sudah Audiensi dengan Kantor Staf Presiden. 


  • Pada tanggal 21 April 2022, Tim Terpadu Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara sudah melakukan Identifikasi dan Verifikasi ke wilayah desa Parsingguran II. 


  • Pada tanggal 12 Juli 2022, Kantor Staf Presiden (KSP) telah mengirimkan suratnya  No. B.107 KSP/ D.2/ 07/ 2022 kepada a.l  Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, Bupati Humbang Hasundutan (lampiran 1). 


  • Pada tanggal 1 September 2022, Tim Kantor Staf Presiden (KSP) telah melakukan peninjauan ke lapangan untuk mengetahui kebenaran Laporan Permohonan  Kesatupadu kepada Bapak Presiden Republik Indonesia. Namun sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya. 


  • Pada tanggal 26 Desember 2022, Kantor Pertanahan Kabupaten Humbang Hasundutan telah menerbitkan beberapa Sertifikat Redistribusi Tanah (Hak atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara) bagi 39 bidang tanah di desa Parsingguran II dan sekaligus dicanangkan sebagai Kampung Reforma Agraria. 


Terkait dengan hal tersebut di atas telah terjadi ketidak harmonisan dalam masyarakat Parsingguran II yang berpotensi akan menimbulkan konflik dan perpecahan masyarakat termasuk perantau  yang berasal dari desa  Parsingguran II yang mempunyai hak waris yang sama atas tanah leluhurnya yang nota bene masih diikat tali persaudaraan dalam satu keluarga yang tidak dapat dipisahkan oleh siapapun juga (satu bapak dan satu ibu). 


Di dalam Sertifikat Redistribusi tersebut tertulis bahwa Pemberian Hak "Atas Tanah Yang Dikuasai Langsung Oleh Negara” dengan penunjuk “bidang-bidang tanah yang diberikan dengan hak milik dalam surat ini keputusan ini tidak dapat dialihkan baik Sebagian atau seluruhnya kecuali kepada pihak yang memenuhi persyaratan dengan ijin tertulis dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Humbang Hasundutan dan/atau merupakan jaminan yang digunakan untuk pelunasan pinjaman kepada Lembaga keuangan”.