Sampah di Thilafushi, Maladewa (BBC)
AKURATNEWS.ID,
MALADEWA – Undang-Undang Pengelolaan Sampah telah ditandatangani oleh
Presiden Maladewa Ibrahim Solih, yang membuat para aktivis bereaksi.
Penandatanganan dilakukan pada Minggu 18 Desember 2022 waktu setempat, yang
dinilai akan menimbulkan keprihatinan serius tentang hak atas kesehatan dan
lingkungan yang sehat, dan kewajiban pemerintah untuk mengatasi perubahan
iklim.
Pada bagian ke 44 undang-undang, dinilai akan membuka pintu
untuk impor limbah ke dalam negeri. Parlemen pada tanggal 28 November dengan
tergesa-gesa mengubah RUU tersebut tanpa konsultasi publik meskipun ada
tentangan keras dari kelompok lingkungan, yang telah mendorong larangan impor
segala bentuk limbah ke negara tersebut.
Aktivis telah mendesak Presiden Solih untuk tidak
menandatangani RUU tersebut. Sementara pemerintah berusaha untuk menjustifikasi
kebijakan dengan mengklaim “limbah dipandang berguna terutama untuk
menghasilkan listrik,” membakar limbah menghadirkan sejumlah risiko, terutama
dari emisi berbahaya dan produk sampingan beracun, termasuk abu hasil
pembakaran, dilansir dari laman hrw.org.
Maladewa memiliki sejarah mengabaikan peraturan lingkungan
dan penilaian dampaknya sendiri, dan tidak memantau emisi udara secara memadai
untuk memastikan bahwa pembakaran sampah menyebabkan kerusakan, minimal pada
lingkungan atau mengancam kesehatan masyarakat setempat.
Mengimpor limbah juga merupakan langkah mundur dari standar
global tentang pengelolaan limbah plastik. Misalnya, Uni Eropa akan melarang ekspor
limbah plastik. China, yang secara historis merupakan importir limbah plastik
terbesar di dunia, melarang impornya pada tahun 2018 karena dampak
lingkungannya.
Thailand tampaknya akan menghentikan impor limbah pada tahun
2025 dalam upaya untuk “melindungi” negara tersebut. Baik Konvensi Stockholm
tentang Polutan Organik Persisten, yang diratifikasi Maladewa pada tahun 2006,
dan Konvensi Minamata tentang Merkuri, menimbulkan kekhawatiran tentang
pembakaran.
Pada Januari 2023, Maladewa akan duduk di Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, di mana pemerintah telah berjanji untuk memprioritaskan masalah terkait iklim. Menteri luar negeri mengatakan bahwa untuk dataran rendah Maladewa "perbedaan antara 1,5 dan 2 derajat adalah kematian".
Selain berdampak pada kesehatan manusia, pembakaran sampah juga
melepaskan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Dengan mengadopsi undang-undang yang memungkinkan impor
limbah, Maladewa merusak kredibilitas internasional mereka dalam isu-isu
terkait iklim. Alih-alih membuka negara dari limbah dunia, Presiden Solih dinilai harus
berfokus pada solusi tanpa limbah yang memprioritaskan kewajiban hak asasi
manusianya untuk mengatasi kesehatan dan perubahan iklim.