Notification

×

Iklan

Iklan

Minangkabau Di Zaman Galau

Jumat, 02 Desember 2022 | 01:21 WIB Last Updated 2022-12-01T18:21:59Z

Oleh: Pinto Janir 
(disampaikan pada Webinar Pra IMLF 20 November 2022)

Segala sesuatu yang tak dirawat, adatnya akan lekas mengalami kerapuhan. Kita sadar benar, bahwa yang abadi itu sebenarnya adalah perubahan itu sendiri. 

Tapi, idealnya perubahan,  bukanlah membawa kerusakan. Perubahan, bukanlah kecelakaan. Ia hukum alam. Biasa! 

Namun begitu, kecelakaan itu terjadi  apabila ruang dan waktu tidak sepakat menerimanya. Makanya, sering kita dengar, ia ada dan hadir di waktu yang tidak tepat dan di ruang yang salah.  

Optikal peristiwa berpotensi berhukum ' apa yang tampak tidak selalu seperti apa yang terjadi'. 

Ruang dan waktu membentuk cita rasa. 

Keniscayaannya, tiap masa ada waktunya. 

Tiap waktu ada masanya. 

Tiap ruang ada orangnya. 

Dan tiap orang ada pikirannya. 

Saya sependapat dengan filsuf Descartes. Cogito Ergo Sum. Aku berpikir, maka aku ada. 

Pikiran selalu saja mengundang keraguan. Keraguan selalu menyeret kita untuk mengapungkan pertanyaan-pertanyaan. 

Pendapat saya, sebenarnya sebuah kebenaran dimulai dari keraguan-keraguan. 

Bukankah pengetahuan dimulai dari pertanyaan? 

Bagi saya, hidup adalah " pertanyaan" syukur syukur melahirkan pengertian dan pemahaman yang menciptakan permak lumatan pikiran. 

Intinya pengakuan. Karena, kehidupan dimulai dari pengakuan. 
Pengakuan adalah " kekuatan ".

Maka apungkanlah pertanyaan pada diri sendiri sebelum mendapatkan pengakuan. 

Tuhan bertanya, manusia menjawab! Tugas kita adalah menjawab pertanyaan supaya terhantar pada kebahagiaan dunia dan akhirat. 

Pikirkanlah! 

Banyak orang terjebak untuk berpikir, kemudian yang ia sampaikan adalah pikiran orang lain yang sudah pernah ada. 

Ia tak pernah sadar bahwa ia tak lebih dari seorang penerjemah pikiran orang lain. 

Soal berpikir, tidaklah mutlak membawa kita selalu kepada kebenaran. 

Riset lah. Telitilah. Jangan meneliti untuk menguatkan sesuatu yang pernah ada. Tapi adalah untuk melaksanakan sesuatu, apa yang harus diadakan untuk menjawab tantangan pada ruang atau masa sekarang. 

Gunanya, supaya jangan terjebak pada kekuatan lain yang menyesatkan. 

Kadangkala, seperti ada kekuatan lain yang membawa kita kepada pikiran yang salah, atau pada sebuah kesalahan. 

Bahkan, pikiran kita bisa terpere-pere ke lembah kekeliruan  di saat mana apa yang kita pikirkan tak terjangkau di ruang pangana. 

Bila pikiran kita dikendalikan oleh kekuatan “ lain” dalam tanda kutip, maka pada saat itu kecendrungan kita adalah ke arah pikiran yang keliru dan salah. 

Sehingga, keraguan yang tercipta tidak lagi menjadi pencari kebenaran, melainkan makin membuat kita terpuruk ke lembah-lembah kesalahan. 

Saya, membentengi ini dengan cara berupaya sekuat tenaga menjernihkan pikiran yang ada.

 Caranya, dengan membuang segala kepentingan menyangkut subjektivitas diri. 

Lalu, membersihkan pola hati dengan cara menjauhkan diri dari segala subjektivitas rasa yang menjerumuskan kita pada kebusukan yang melahirkan iri dan dengki. 

Hati yang busuk dan kumuh adalah bahaya yang menghancurkan jalan pikiran. 

Sementara, pikiran yang kumuh, dapat dicuci oleh hati yang bersih.

Bagaimana cara membentengi pikiran supaya tak ditunggangi oleh kekuatan lain di luar diri kita? 

Caranya, sederhana; yakni, berpikir sambil berzikir.  

Bicara tentang merawat, bicara tentang pikiran. Tak ada sesuatu pun yang benar-benar tak lapuk dek panas dan tak lekang dek hujan.
 
Tak ada itu. Kecuali; Alquran. Kebenarannya, kebenaran pasti dan mutlak !

Banyak nian  orang yang terjebak pada romantika pikirannya sendiri. Akibatnya, tali beruk yang pendek, disalahkannya pula mengapa pohon kelapa yang tinggi. 

Kalau topi  tak sesuai ukuran, jangan kepala yang ditarah? 

Bila tangan tak sampai,  bulan yang tinggi jangan dijangkau. 

Kalau bersikeras juga hendak menjangkau, jangan risau. Jangkaulah pakai panggalan. Panggalannya;  pikiran! 

Tidak semuanya di atas dunia ini harus dipikirkan. Tidak semua apa yang terpikir harus dijalankan. 

Tiap pikiran, ada yang harus didahulukan. Ada pula yang harus dikemudiankan. Ada juga yang harus segera dilaksanakan. Bahkan, ada yang harus diperamkan. Ada yang harus dikuburkan. 

Diri kita adalah manager bagi pikiran kita sendiri. Inilah yang dimaksud dengan, manusia adalah arsitek bagi dirinya sendiri. Manusia adalah mesin yang berpotensi menciptakan sejarah baru di atas kehidupan.

Lalu... 

Siapa kita? Siapa saya? Saya adalah pengelola pikiran yang berguru pada intuisi yang benar benar intuitif. 

Pikiran intuitif intinya mempengaruhi. Bukan dipengaruhi. Potensinya mewarnai. Bukan diwarnai. 

Baiklah, selaras dengan Cogito Ergo Sumnya Descartes, Aku berpikir, maka aku ada. Maka pikiran kebudayaanku adalah "Ada" .

IA yang Maha Ada. Tak ada awal, tak ada akhir. Kita ada karena  "ada" itu tadi. Dan tidak akan pernah menjadi tidak ada. Karena kita selalu bersama ADA. 

Untuk merasakan ADA, kita harus tidak ada. Ada itu proses taut bertaut. Tautnya "tersembunyi". Adatnya taqwa. 

Dari satu tautan ke tautan yang lain, kita ditidakadakan sejenak. Kita adalah akumulasi pertautan itu sendiri. 

Hukum waktu; relatif.Hukum ada;pasti. Hukum ruang? Mungkin saja ruang dan waktu adalah 
"kesepakatan". 

Bagi saya, soal siang dan malam adalah kesepakatan edar antara bulan dan matahari. Bila mereka tak sepakat, kiamatlah dunia! 

Sudah itu... 

Ada yang berpikir, apakah kita akan "lenyap" begitu saja dan lalu menjadi 'entah'? Tidak. Kekekalan Tuhan bersama kita!

Namun begitu bagaimana menciptakan sesuatu yang berubah namun tak membawa kerusakan?

Baiklah, mari kita bicara tentang literasi. 

Bagi saya, mesin literasi itu adalah pikiran dan hati. Dua-duanya harus berfungsi. Dua-duanya melahirkan cipta, rasa dan karsa. 

Karena ada cipta, ada rasa dan ada karsa, maka ia menghidupkan imajinasi. 

Imajinasi yang terolah dan menjadi pelaksanaan, itulah yang disebut dengan literasi. 

Medianya, menyimak, atau mendengar, melihat atau memandang, membaca atau menulis. 

Pendapat saya, ekspresi dari literasi itu adalah ; Apa narasimu atau ceritamu hari ini? 
Baca, sampaikan, tuliskan. 

Ada tiga unsur penting dalam ilmu atau kecakapan literasi. Yakni; baca, tuliskan dan sampaikan! 

Literasi itu hulunya hati dan pikiran. Muaranya, kebijaksanaan dan kerarifan. 

Kebijaksanaan ada karena membaca dan menulis. 

Kearifan, karena pengertian yang benar-benar mengerti untuk kemudian benar-benar memahami.

Kebijaksanaan adalah pengertian, kearifan adalah pemahaman. 

Bila kebijaksanaan lenyap, kearifan punah, maka yang tercipta adalah “galau”. 

Dulu, kita sering mendengar istilah zaman edan. Kini muncul istilah baru. Yakni, zaman galau.

Sebenarnya, yang galau itu bukanlah zamannya. Bukan. Yang galau adalah manusia yang mengisi ruang di zaman ini. 

Keyakinan saya, galau berasal dari Bahasa Minang. Saya mengenal kata ini sebelum masuk TK. 

Kaba bagalau misalnya, itu artinya kabar atau informasi tak  pasti. Galau, bisa juga bermakna pikiran yang kacau. 

Galau, bisa juga sedih, gelisah, bimbang, bingung dan lain-lain yang membuat perasaan terganggu untuk kemudian kacau.

Pikiran kacau menghantarkan kita pada sikap tak tahu diojok. 

Segala sesuatu yang terganggu, pasti ada sebabnya. 

Kegalauan  tampaknya sedang menimpa dunia. 

Galau politik, ancaman perang dunia yang bisa saja sekali waktu terpicu.

Galau ekonomi, di mana mulai digaungkan berbagai institusi finansial global seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia, tahun depan berpotensi  resesi ekonomi .

Bahkan Firma riset investasi Ned Davis Research memprediksi ,  98,1% kemungkinan resesi terjadi tahun depan.

Tapi kita tak usah galau galau amat. Tenang saja. Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani menyampaikan bahwa Indonesia berpotensi cukup kecil untuk mengalami resesi ekonomi pada tahun 2023. 

Kata Sri Mulyani;  yang menjadi penyelamat Indonesia dari jurang resesi adalah masih surplusnya neraca perdagangan Indonesia bulan Agustus 2022 dan terus meningkatnya aktivitas manufaktur di negara kita. 

Insya Allah, ekonomi kita akan baik baik saja. Berdoalah. 
Semoga begitu. 

Galau sosial. Galau yang satu ini ditandai dengan gampangnya manusia tersulut “rasa”. 

Sensitivitas personal yang tinggi dan kuat. Bahaso awaknyo stek-stek tasingguang. Akhirnya, kita menjadi insan yang gampang marah-marah.

Sedikit-sedikit berang. Hangok kareh. Namuh bersitegang urat lihia dibuatnya. Mau menang sendiri. Merasa benar sendiri. Di songsang pendapat oleh orang, awak berang dalam kedangkalan berpikir. 

Ujung ujungnya, kita bisa saja dituduh masuk neraka kalau berbeda pendapat dengannya.

Bahkan untuk sebuah pilihan yang sifatnya hanya "duniawi" , kalau kita berbeda dengannya-- walaupun ia tahu kita sekeyakinan-- untuk mematahkan pendapat kita, ia akan bertanya dalam retoris : Agamamu apa? Ha.. Itu nyo! Itu nyo ! Ha, jan babeda juo pilihan lai, bekoh masuk narako....

Hahahaha....
Sumur yang dangkal tak berair mata, rupanya benar benar air mata bagi para penimba yang dahaga. 

Ini akibat semangat solidaritas yang lenyap. Maka perbedaanpun dianggap sebuah kekeliruan yang fatal.  

Toleransi dan tenggang rasa hanya menjadi cerita. Hanya manis di mulut, kelat di fakta!

Kalau toleransi lenyap, pada akhirnya, kita berpotensi menjadi bangsa yang rapuh. 

Saciok bak ayam, sandanciang bak basi, hanya tinggal menjadi kata-kata. Menjadi dunia kata-kata.

Dek basamo mangkonyo jadi, bergeser menjadi “dek basamo mangkonyo demo”. 

Padahal, literasi Minangkabau--- seperti yang disampaikan oleh Bapak Gamawan Fauzi---orang Minangkabau tak mengenal istilah demo, yang ada adalah musyawarah. 

Soal pasa salasai di balai. Soal kaji salasai di surau.Soal adaik salasai di balai adaik .

Tak  ada satupun literasi Minangkabau yang menyatakan  “salasai di tangah jalan!”. 

Mana bisa kita menyalahkan ruang dan waktu. Yang jelas, ruang dan waktu itu harus selaras. Harus harmonis. Harus sejajar. Tak boleh bertikai. 

Tempat itu sesuai waktu. Idealnya begitu. Karena, sesuatu itu pasti bertempat-tempat. Ada tempatnya. Ada peruntukannya. Tak ada yang tak pada tempatnya. Tak ada yang tak perguna. 

Beberapa pepatah, bicara tentang itu. 

Tempat yang tepat, adalah kajian yang adil. Itu sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.

Adat Minangkabau mengaturnya dengan cermat. Adat Minangkabau sudah mengatur kedudukan dan tempat duduk itu dengan cermat sekali.

Ya, sesuai dengan fungsi masing-masing. 

Dulu, tabu sekali bilamana mamak saduduak jo kamanakan di ciek lapau. 

Kini? 

Ondeh, ada mamak nan salapau pula dengan kemenakannya. 

Bahkan bermandan mandan pula main batu domino. Sakareh lapoh meja mamak, sakareh tu lo lapia meja kamanakan. 

Tujuan sairama, manutuik balak. Kalau main tak sairama, alamaik jalan mandan nan tatutuik. 

Ada pula mamak rumah dengan mando, nan sa duduak pulo di tangah lapau. 

Banyak urang bisa baiyo Iyo di lapau. Bantu kalua dari lapau; lansuang galau! 

Teya…

Tapi yang menarik tetap  saja soal mamak masa kini. 

Ninik mamak adalah sebagai pemegang sako datuk(datuak)secara turun temurun menurut garis keturunan ibu dalam sistem mitrilinel.

Ia, mengawasi, mengurusi dan menjalankan seluk beluk adat. 

Dia adalah pemimpin dan pelindung kaumnya atau anak kemenakannya menurut sepanjang adat. 

“Anak dipangku kemenakan dibimbing”. Ninik Mamak itu semamang” Kapai tampek batanyo ka pulang tampek babarito”. 

Fenomena yang terjadi pada saat sekarang ini, mamak cendrung hanya “memangku anak” –mangapik bini. 

Marunguik se bini dek kedatangan kamanakannyo ka rumah, nan mamak lansuang kucun. Lansuang bantuak kuciang dibaok an lidih . Iko ciri ciri laki laki lamah. 

Kalau laki laki alah barado di bawah tapak kaki bini, mamak nan tampak kayo jo santiang di ruang publik, hanyo akan dianggap bak kapeh tabang di tangah rimbo dek kamanakan sarato para sudaronyo.

Mamak nan badagiang taba, kamanakan nan bapisau tajam...hanyolah carito. 

Iko mamak nan hanyo sibuk mengurus anak bini. Jangankan membantu, menyilau Kamanakan se tidak. 

Cilaka! 

Ekspresi lindapnya peran mamak ini saya ungkapkan dalam sebuah cerpen saya yang berjudul “Mamak” yang pernah dimuat di Harian Padang Ekspres dan Haluan Padang. 

Cari saja di google : Mamak Cerpen Pinto Janir. Bersua, itu! 

Dulu, seorang anak tumbuh atas tiga pengawasan, mamak, ayah dan ibunya. 

Dulu, terdengar saja langkah mamak dari pekarangan rumah, bergegas kemenakan menyiapkan diri menyambut dengan kemuliaan dan kehormatan. 

Kini? Ungkapkan saja…
Awak alah duduak di ruang nan ko, nan aia sagaleh alun juo tibo.

Mengapa begitu? Mamak juga harus mengoreksi diri. Mamak nan indak tahu dengan kemenakan atau sebaliknyakah? 

Sehingga sering terdengar, rancak bamamak ka batang pisang lai. Ini ekspresi kekecewaan seorang kemenakan pada mamaknya sendiri. 

Apakah ini yang dinamakan kesalahan komunikasi? 

Atau, putus asa pada kepercayaan? Kemenakan kehilangan kepercayaan kepada mamak ketika banyak sawah dan ladang serta moral yang tergadai. 

Begitukah? 

Kalau dihitung satu persatu dengan cermat, suka atau tidak suka, marah atau mengutuk, yang pasti “degradasi moral itu telah menimpa ranah Minangkabau”. 

Sebenarnya, degradasi moral ini secara global sudah terjadi.

Barangkali, ini karena kita gagal meniscayai bahwa adab lebih tinggi dari ilmu. 

Banyak anak muda kita pada saat ini yang pintar dan cerdas-cerdas otaknya.

Kemampuan otak kirinya luar biasa. Namun kemampuan otak kanannya cendrung berbisa.

Sehingga, sopan,santun, basa basi, seakan menjadi cerita masa lama. Dunia digitus agaknya telah menggeser berbagai perilaku itu. 

Yang kita cemaskan ketika mana cermin keminangkabauan itu tak lagi mengaca pada kehidupan kita sehari-hari. 

Ayo kita buka data! 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Sumatera Barat menjadi provinsi dengan persentase desa yang mencatatkan kasus peredaran narkoba tertinggi nasional pada 2019.Yakni 27,92%. 

Posisinya disusul Riau dengan persentase sebesar 26,35%, Kalimantan Timur 23,51%, DKI Jakarta 22,1%, dan Sumatera Utara 22,08%.

Mengapa ini terjadi? 

Apakah ayah dan mamak tidak mengawasi dan menjaga kemenakannya? 

Apakah orang sekitar atau lingkungan rumah tangga kehilangan kepedulian? 

Kemudian, fakta lain ;

Angka perceraian di Sumatera Barat (Sumbar) cukup tinggi. Bahkan, sepanjang tahun 2021, tercatat sekitar 8 ribu kasus perceraian di berbagai daerah di Sumbar.

Hal ini diungkapkan Kepala Bidang Urusan Agama Islam Kanwil Kemenag Sumbar, Edison. 

Bahkan, ternyata "70 persen kasus cerai gugat. Istri yang banyak menggugat cerai suaminya," kata Edison dikutip dari Klikpositif.com .

Beberapa tahun yang silam salah seorang anggota DPRD Sumbar dengan lantang pernah berkata, tingginya angka perceraian di Sumbar karena selingkuh. 

Karena, maraknya reuni-reunian yang  melahirkan CLBK? 

Olala! 

Jadi bukan karena kesulitan ekonomi semata. Tapi, karena “iman yang rapuh”. 

Dikutip dari Merdeka News. Pada tahun 2019 silam, Polda Sumatera Barat mencatat, angka kriminalitas masih tinggi terjadi di Sumbar sepanjang tahun 2020. 

Kapolda Sumbar, semasa  Irjen Pol Toni Harmanto mengungkapkan,"Sejak saya masuk ke Sumatera Barat, itu kita (Sumbar) memiliki ranking kelima terbesar angka kriminalitasnya (Indonesia), dibandingkan 34 provinsi lainnya," .

Merdeka.com mengabarkan. Tindak pidana di Sumbar tahun 2021 sebanyak 5.099. Tahun 2020 sebanyak 8.525 tindak pidana. 

Itu artinya, tiap bulan, ada sekitar 400 ratus lebih peristiwa hukum tindak pidana. Tiap hari, terjadi 13 kali tindak pidana. Hampir, sekali satu setengah jam; tercipta peristiwa hukum. 

Ngeri! 

Seorang anak bunuh ibu kandung pakai cangkul di Alahan (sumbar.antaranews.com ). Beritanya setahun silam. 

Lalu, IS warga Kotoanjang, Kota PadangPanjang, Sumatera Barat tega menganiaya anak bungsunya yang masih berumur tiga tahun hingga tewas . 

Mirisnya, perbuatan IS hanya gara-gara anaknya buang air kecil di celana.

Sudah itu...

Sejumlah anggota keluarga di Padang, diringkus polisi karena memerkosa anak di bawah umur.

Para pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur itu diringkus Tim Klewang Stareskrim Polresta Padang, Rabu, 17 November 2021.

Kedua bocah malang tersebut dicabuli oleh kakek, paman, kakak, serta tetangganya.

Literasi apa ini?

Apa yang lenyap di nagari kita ini? 

Apakah daerah atau kampung halaman kita tak lagi nyaman dan aman?  

Tanda apa ini, tuan? 

Apakah tanda kepedulian atau solidaritas pada lingkungan tempat tinggal sudah lenyap? 

Mana parewa kampung kita yang dulu menjaga nagari? 

Mana dia nan tagak basuku mamabela suku, tagak bakampuang mambela kampuang tagak nagari mambela nagari ? 

Maanyoooo…?

Bahkan, begal dan jambret bisa masuk kampung? 

Bagaimana literasi kita ini? 

Kemudian; seorang wartawan senior Yal Aziz yang menulis di Sumbarprov.go.id.

Tulis Yal  “Bagi orang Minang dimana saja berada so pasti akan kaget dan terkejut menerima informasi, kalau jumlah LGBT yang ada Sumatera Barat, lebih 18.000 orang. Yang mengagetkan lagi, yang menyebutkan jumlah LGBT terbanyak di Indonesia ini, Wakil Gubernur Sumbar, Nasrul Abit (alm)”. 

Apa yang sedang terjadi di ranah kita ini? 

Apa? 

Haruskah kita marah-marah dengan segala fakta dan data ini? 

Terimalah fakta kelat ini sebagai tamparan keras untuk berpikir lalu memperbaiki segala yang rusak itu. 

Katasumbar.com mengungkapkan – Sumatera Barat masuk dalam daftar provinsi paling tidak bahagia di Indonesia versi Badan Pusat Statistik (BPS).

Dilansir dari detik.com, indeks kebahagiaan Sumbar 2021 ini menurut BPS adalah 71,34. 

Sumbar berada di 10 terbawah. Provinsi tertinggi kebahagiaannya adalah Maluku Utara dengan skor 76,34. 

BPS mengukur indeks ini lewat survey yang diadakan 3 tahun sekali dengan kategori kepuasan hidup, perasaan dan makna hidup.

Kepuasan hidup? 
Apakah kita kurang bersyukur, sehingga lebih banyak mengeluh, menghujat,mencaci maki dan energi serta pikiran negative lainnya? 

Perasaan? 

Apakah perasaan kita terluka,dilukai atau melukai? 

Makna hidup? 

Apakah kita kehilangan motiv untuk hidup, bahwa hakikat hidup ini sesungguhnya adalah untuk beribadah dan menyebarkan kebajikan, bukan hoaks dan sakit hati dan ujaran kebencian? 

Apa yang salah?
Apa yang keliru?
Apa yang terkilir?
Kaki,hati,mata, kepalakah? 

Bila begitu, mari kita kembali ke surau. 

Kita hidupkan spirit dan literasi kesurauan. Bila tapian mandi rami dek nan mudo, maka masjid dan surau rami oleh umat…

Galau sosial, galau ekonomi menghiasi kegalauan kita secara global. 

Soal ekonomi, Sumbar itu bagaimana?

Dikutip dari Katasumbar.com Provinsi Sumbar posisinya cukup baik karena berada di peringkat 7 dari 10 Provinsi di Sumatra.

Persentase  kemiskinannya adalah 6,56 persen. Secara angka, jumlah penduduk miskin Sumbar sebanyak 364,97 ribu jiwa di September.

Sementara di Maret, jumlah penduduk miskin di Sumbar adalah 344,23 ribu. 

Lima tahun silam terdengar kabar berita dari Data Dinas Sosial Sumbar.

Tercatat ada 104 penderita gangguan jiwa dipasung keluarga yang tersebar di 6 Kabupaten.

Masing-masing, 54 orang di Kabupaten Pasaman, 25 orang di Kabupaten Pesisi, 14 orang di Pasbar, 3 orang di Solok, 4 orang di Sijunjung dan 4 orang di Solsel.

Itu, ODGJ yang dipasung, bagaimana dengan yang tidak dipasung? 

Lalu, galau kebudayaan. 

Salah satunya galau Bahasa ibu. 

Coba perhatikan dan coba simak, betapa banyaknya para ibu muda yang menjadikan Bahasa pengantar kepada anak-anaknya adalah Bahasa Indonesia Padang atau Indomie. 

Kita khawatir, lama ke lamaan Bahasa ibu ini akan musnah. 

Maka, sejak dulu hingga kini, menjawab kekhawatiran ini saya memulai dengan membuat cerpen-cerpen berbahasa Minangkabau. 

Pada awal Covid, saya meluncurkan cerpen berbahasa Minangkabau dengan judul Pacar lamo. Baik di medsos maupun di media koran (Harian Padang Ekspres) novel Pacar Lamo mendapat sambutan yang hangat bagi pembaca. 

Klik saja di google : Pacar Lamo Novel Pinto Janir " . 

Tujuan saya membuat cerber ini adalah untuk merawat dan memelihara Bahasa ibu. 

Karena saya yakin benar, Bahasa ibu adalah salah satu identitas atau jati diri kita sebagai orang Minang.

Lenyap Bahasa ibu, lenyap salah satu identitas kita sebagai orang Minang…

Kemudian….
Coba buka medsos.Buka IG. Buka Facebook. Buka Tiktok?

Buka. 
Lalu amati. 
Lihatlah, terutama di tiktok.

Oknum-oknum para muda kita itu bercarut-carut. Bacakak. Sebagian ada yang tampil kurang sopan dengan bahasa yang menyakitkan telinga. 

Kegalauan di sana sini. Sini galau, sana galau. Di mana-mana seakan ada galau. 

Seakan, kebanggaan pada masa kini menjadi lenyap. Sehingga kita sibuk mengungkap dan menghitung-hitung kebanggaan dan kejayaan masa lalu. 

Kita sibuk mengucap, nagari ini adalah nagari sarang pikiran. 
Nagari tempat tumbuh dan lahirnya orang-orang berpikir. 

Tapi, kemana dan sedang di mana para “filsuf” Minangkabau ? 

Kemana para pemuka? 
Kemana ninik mamak? 
Kemana pemerintah daerah kita? Kemana ulama dan kaum adat? 
Kemana parewa yang dulu menjaga kampung ? 

Sebenarnya apa yang lenyap di nagari nan gurunya alam terkembang, nan adatnya basandi syarak, nan syaraknya basandi Kitabullah …

Apa? 

Mari kita diskusikan. 
Namun sebelum diskusi ini dibentang, saya berpendapat, melawan zaman digital, manalah mungkin. 

Yang paling penting untuk merawat literasi sosial adalah dengan cara meningkatkan kepedulian sosial dalam spirit solidaritas. 

Hilang solidaritas, hilang kepedulian. 

Kemudian, untuk mengatasi degradasi atau keruntuhan moral ini, mari kita mulai dari rumah masing-amsing. 

Nan orangtua, jagalah anak dengan baik. Jangan sampai mereka kehilangan kasih sayang karena orangtuanya sibuk bekerja. 

Mulailah menyulam literasi komunikasi keluarga dengan mentradisikan kembali makan bersama dan bercengkrama di ruang tengah. 

Zaman galau adalah zaman orang “sepi” yang sibuk sendiri sendiri. 

Lihatlah, betapa banyaknya orang-orang yang tangannya tak bisa lepas dari HP. 

Kita boleh saja satu ruangan, tapi kita saling diam karena kita sibuk dengan layar HP masing-masing.

Biasakan, kalua sudah bersama dan saling bertemu, HP ditutup.

Budayakan budaya malu buka HP kalau sedang berbincang atau dalam sebuah pertemuan bersama. 

Sekali lagi, mari kita berpikir !

Bunmg Karno berkata, bekerjalah seperti orang Jawa bekerja. Berbicaralah seperti orang batak bicara. Dan berpikirlah seperti orang Minangkabau berpikir…

Kini, pikiran itu mana? 

Apakah kita terjebak pada budaya gabut? 

Sehingga yang tak penting menjadi penting. Lalu, lambat laun kita terjebak kepada budaya konyolistik yang akan menghancurkan bangsa !

Jangan sampai, daya curiga makin meningkat, daya berpikir sehat makin lenyap! 

Orang orang biasa, menaiki panggung orang. Orang orang luar biasa, menciptakan panggung untuk orang lain. 

Orang-orang kuat menunggangi kuda kuda pikirannya. Orang orang lemah ditunggangi kuda kuda pikiran orang lain. 

Orang orang cerdas berdaya cipta memberi warna. Orang orang biasa, diwarnai. 

Orang bijak tempat bertanya, orang arif tempat diikuti. 

Salam cinta untuk Ranah Minang

Pinto Janir
Jakarta 19 November 2022