Notification

×

Iklan

Iklan

Rencana Pelabelan Galon, Anggota Komisi IX Minta BPOM Tidak Diskriminatif

Minggu, 02 April 2023 | 15:54 WIB Last Updated 2023-04-02T08:54:17Z

Ilustrasi Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nur Nadlifah, agar BPOM untuk tidak diskriminatif dalam aturan pelabelan kemasan air minum./Istimewa


AKURATNEWS.ID, JAKARTA – Para pengamat kesehatan banyak menyepakati, Kemasan air minum yang saat ini digunakan sama-sama memiliki zat kimia yang dinilai berbahaya. Namun demikian, penggunaannya selama ini telah dibatasi dan diatur penggunaannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

 

Namun demikian, BPOM dalam beberapa waktu terakhir cenderung hanya membahas galon isi ulang, yang dinilai untuk diberikan pelabelan dalam penggunaannya. Menanggapi hal yang terjadi disektor tata aturan ini, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Nur Nadlifah, meminta agar pelabelan zat-zat kimia berbahaya tidak diberlakukan hanya pada galon polikarbonat saja tapi juga untuk galon berbahan PET atau sekali pakai.

 

Nur Nadlifah menilai, galon berbahan PET, atau yang diketahui sekali pakai, sama-sama memiliki zat-zat kimia berbahaya.

 

“Semua harus diperlakukan sama, tidak hanya galon polikarbonat yang berbahan BPA saja tapi juga galon berbahan PET atau sekali pakai yang mengandung etilen glikol,” ujarnya, dalam sebuah kesempatan.

 

Tapi, menurutnya, hingga kini Komisi IX  saja masih belum membicarakan terkait pelabelan kemasan AMDK itu dengan BPOM.

 

“Mungkin saat ada pembahasan terkait hal ini, semuanya akan kita bicarakan dalam rapat nanti,” tukasnya.

 

Namun, juga dia meminta agar semua industri air minum dalam kemasan (AMDK), baik yang berbahan polikarbonat (guna ulang) maupun PET (sekali pakai) bisa membuktikan bahwa produk-produk yang mereka jual benar-benar aman untuk dikonsumsi.

 

Selain itu, lanjutnya, semua industri AMDK juga perlu memperhatikan treatment atau perlakuan terhadap kondisi-kondisi yang bisa menyebabkan terjadinya migrasi zat-zat kimia berbahaya dari kemasannya ke dalam produk airnya.  

 

Dia mencontohkan salah satu treatment yang harus dilakukan itu adalah bahwa kemasan AMDK tersebut harus tidak boleh dipanaskan dan terkena panas dalam beberapa hari. Karena, menurutnya, meski dari pabriknya sudah memproduksi produk-produk yang aman, tapi terkadang ada saja oknum pabrik nakal yang mencantumkan sesuatu yang tidak sesuai dengan produknya.

 

“Masyarakat juga harus memperhatikan hal-hal tersebut,” katanya.

 

Ditanya adanya kebingungan masyarakat untuk meminum air AMDK terkait adanya isu bahaya zat-zat kimia pada kemasan AMDK, dia juga tidak bisa memberikan solusinya. Karena, menurutnya, baik air sumur, PAM, air isi ulang juga banyak yang masih meragukan soal kehigienisannya. 

 

“Ya gimana lagi ya, kalau kita sudah minum, bismillah insyaallah saja supaya tidak terjadi apa-apa,” katanya.

 

Nur Nadlifah sendiri mengaku sudah bertahun-tahun menggunakan air galon guna ulang bersama keluarganya. “Saya juga biasa pakai galon yang isi ulang itu, ya sudah puluhan tahun juga,” tuturnya.

 

Sebelumnya, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rizal Edy Halim juga meminta agar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak hanya melabeli satu jenis kemasan plastik saja, tapi diberlakukan kepada semua. Sebab, menurutnya, semua kemasan plastik mengandung zat-zat kimia berbahaya.

 

"Jadi, jika BPOM ingin mewacanakan pelabelan, ya semua harus dilabeli, baik kemasan berbahan Polikarbonat maupun PET. Karena semua plastik itu sama-sama berbahaya bagi kesehatan," ujarnya beberapa waktu lalu.

 

Khusus AMDK, kata Rizal, ada dua jenis plastik yang digunakan, yaitu Polikarbonat (PC) dan Polietilena tereftalat (PET). Kemasan PC atau galon guna ulang biasanya dipakai untuk ketahanan waktu lama. Lebih keras dan biasanya dicampur dengan Bisfenol A (BPA). Sedang untuk kemasan PET atau sekali pakai, biasa dicampur dengan antimon.

 

"Yang namanya plastik itu, ketika dicampur dengan zat kimia semua punya risiko. Makanya ada aturannya berapa yang boleh dan berapa yang tidak. Jadi, kalau ditanya mana yang lebih aman, ya dua-duanya sama-sama beresiko. Kalau mau aman ya tidak usah menggunakan plastik, pakai saja gelas atau botol kaca," katanya.

 

Khusus untuk plastik PET, kata Rizal, para aktivis lingkungan juga menolak kehadiran kemasan ini yang terkait dengan isu lingkungan. "Kalau BPOM mau buat pelabelan BPA, pertanyaannya kan ada isu lingkungan juga kalau kita hanya memakai yang sekali pakai itu. Aktivis lingkungan akan bereaksi karena akan terjadi penimbunan sampah yang lebih banyak," tuturnya.

 

Menurutnya, yang penting dari penggunaan kemasan plastik adalah pengawasannya, sejak diambil dari sumber mata air harus higienis. Juga harus diawasi apakah sudah memenuhi syarat atau tidak, cara pengambilannya, pengangkutannya sampai ke tempat pelaku usaha, penyimpanannya, di toko-toko.

 

"Nah, itu yang harus diawasi sambil diberitahukan ke masyarakat tidak boleh menyimpan AMDK itu terlalu lama, karena bisa berinteraksi dengan atmosfer di sekitarnya. Para penjualnya juga harus diingatkan tidak boleh meletakkannya di bawah sinar matahari langsung," ucapnya.

 

Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, bahkan meminta tidak ada diskriminasi usaha AMDK khususnya terkait senyawa BPA. Dia menyampaikan pemerintah harus mengedepankan unsur keadilan dan jangan ada diskriminasi.

 

"Dalam usaha harus mengedepankan unsur fair, tidak ada unsur diskriminasi. Semua pelaku usaha, produk, harus diberikan kesempatan yang sama untuk bersaing," pungkasnya.