Notification

×

Iklan

Iklan

Hari Pangan 2023 Menjadi Ujian Indonesia Menata Pangan

Sabtu, 21 Oktober 2023 | 08:37 WIB Last Updated 2023-10-21T01:37:02Z

 

Presiden Joko Widodo saat meninjau pertanian di daerah/Ist

AKURATNEWS.ID, JAKARTA – Saat Hari Pangan Sedunia, pada tanggal 16 Oktober 2023, Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, menyampaikan pandangannya tentang tahun 2023 sebagai tahun yang penuh tantangan, bukan hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi dunia. Kenaikan suhu bumi yang memicu El Nino panjang menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi ketersediaan pangan global.

 

Jokowi mengungkapkan bahwa Indonesia telah melakukan upaya antisipasi dengan persiapan cadangan beras yang memadai. Seiring waktu, infrastruktur yang diperlukan untuk menjaga ketahanan pangan telah dibangun, termasuk waduk, ribuan embung, dan jaringan irigasi. Namun, tantangan yang dihadapi, terutama dalam situasi El Nino, masih mengandalkan impor sebagai solusi.

 

Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sebelumnya telah mencatat bahwa impor pangan Indonesia mencapai angka yang signifikan, diperkirakan mencapai Rp300 triliun. Megawati juga mencermati peningkatan impor gandum yang telah mencapai 28% konsumsi pada tahun 2022.

 

Indonesia memiliki sumber pangan lainnya, seperti jagung, hanjeli, pisang, sagu, singkong, talas, dan ubi jalar, yang dapat menjadi alternatif. Tetapi ketergantungan pada impor pangan, terutama gandum, masih tinggi.

 

Dr.Ir. Nugroho Widiasmadi, mengatakan Kebijakan Ketahanan Pangan harus dimulai dengan Pembangunan ekosistem berkelanjutan, yang meliputi variael tanah, air dan udara, sehingga jaminan akan : Kesehatan dan Kesuburan elemen tersebut akan memberikan buah hasil tanaman yang baik untuk dimakan dari generasi ke generasi.

 

“Di negara kita telah terjadi degradasi lahan akibat pemakaian pupuk dan pestisida berlebihan sejak revolusi huijau tahun 1970 sampai saat ini,” ujarnya dalam keterangannya.

 

Keberpihakan pemerintah terhadap sumber daya yang berkelanjutan untuk kemandirian tidak diperhatikan , alih alih menambah cabang kerusakan dengan ekploitas tambang yang tarus menggila, alih fungsi lahan, ketergantungan impor dan lain-lain menjadi potret gelap dalam dunia pangan.

 

“Akibatnya bisa kita rasakan saat ini,  tekanan ekonomi, perubahan iklim global memaksa semua elemen tumbang karena negara kita tidak siap,” imbuh Dr. Nugroho.

 

Mengatasi krisis pangan terutama beras, tidak  dengan impor atau buat program “kagetan” seperti program “Pendamping Beras” dengan sumber lain seperti ubi, pisang dan lainnya. Menurutnya menjadi hal percuma, jika tanahnya terus dirusak dan diracun atau masih ketergantungan dengan pupuk kimia, itu  hanya memindahkan  masalah ke tempat lain.

 

“Sebaiknya Pemerintah mulai serius menyelamatkan ketahan pangan dengan kebijakan fundamental ciptakan kantong / lumbung papuk & lumbung pakan untuk mengisi lumbung pangan. Semua komponen  ini ada di desa, dengan Teknologi Biosoildam MA-11 semua dapat diwujudkan dengan cepat , mudah dan terukur,” katanya.

 

Mengutip Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, bahwa impor bahan pangan Indonesia mencapai US$ 16,09 miliar atau sekitar Rp 248,63 triliun pada tahun 2022. Impor pangan terbesar termasuk gandum, gula, kedelai, susu, daging, dan buah-buahan. Negara-negara seperti Australia, Kanada, Brasil, Argentina, dan Ukraina menjadi penyuplai utama gandum.

 

“Perlu dicatat bahwa Indonesia harus mengimpor gandum karena tidak memproduksinya sendiri, meskipun mie instan yang sangat populer di Indonesia terbuat dari gandum,” ungkapnya.

 

Impor gula juga mencapai angka yang besar, hampir US$ 3 miliar atau sekitar Rp 46,35 triliun. Impor kedelai juga signifikan, dengan RI hanya memproduksi 200 ribu ton per tahun pada 2021, jauh di bawah kebutuhan. Kedelai digunakan dalam makanan seperti tempe dan tahu, yang sangat disukai oleh masyarakat Indonesia.

Sebanyak 80% kebutuhan susu Indonesia masih bergantung pada impor, mencapai US$ 1,31 miliar atau sekitar Rp 20,24 triliun. Meskipun ada potensi produksi lokal, beberapa bahan pangan, seperti buah-buahan, kedelai, bawang putih, jagung, dan garam, masih diimpor dalam jumlah besar.

 

Pemerintah Indonesia telah mengambil inisiatif dengan program Food Estate yang dirancang untuk mengantisipasi krisis pangan. Namun, program ini masih menghadapi sejumlah kendala, termasuk sumber daya petani dan lahan yang dibutuhkan.

 

Presiden Jokowi mengakui bahwa mengembangkan Food Estate di berbagai wilayah bukan tugas yang mudah. Keberhasilan dalam panen biasanya baru terjadi pada tanaman keenam atau ketujuh, menggarisbawahi kompleksitas tantangan di lapangan.

 

“Meskipun program ini menghadapi berbagai permasalahan, pemerintah berkomitmen untuk melakukan evaluasi dan perbaikan guna mencapai hasil yang diharapkan. Kolaborasi lintas kementerian menjadi kunci dalam upaya menjaga ketahanan pangan Indonesia,” pungkasnya.