Notification

×

Iklan

Iklan

Memahami Pertikaian Jokowi-Surya Paloh

Kamis, 18 Mei 2023 | 17:48 WIB Last Updated 2023-05-18T10:48:35Z

Menkominfo Johnny G Plate oleh Kejagung/foto istimewa


Smith Alhadar

Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)


Koruptor memang harus dihukum. Hatta besok langit akan runtuh. Koruptor adalah musuh semua: Tuhan, rakyat, bangsa, dan negara.


Kemarin, 17 Mei, Kejaksaan Agung menahan Menkominfo Johnny G Plate dari Nasdem terkait kasus korupsi proyek BTS Kominfo yang merugikan negara hingga Rp 8 triliun. Sementara, pada 2022, Johnny tercatat memiliki kekayaan Rp 192 miliar.


Lepas dari apakah Johnny korupsi atau tidak, kasusnya tak bisa dilepaskan dari isu pilpres. Jokowi kecewa berat atas sikap Ketum Nasdem Surya Paloh mengusung Anies Baswedan sebagai bakal capres partainya.


Dukungan Nasdem, yang diikuti PKS dan Demokrat, memungkinkan Anies menjadi salah satu bacapres yang akan bersaing di pilpres 2024. Ternyata, hal yang terlihat normal ini, dipandang Jokowi sebagai pembangkangan Paloh terhadap otoritasnya. Otoritas apa? Jokowi menganggap pilpres sebagai mainan di bawah wewenangnya.


Memang sebagai partai pendukung pemerintah, Nasdem diberi 3 kursi menteri. Tapi, melalui media miliknya -- koran Media Indonesia dan Metro Tv -- kontribusi Paloh bagi kemenangan Jokowi dalam dua pilpres terakhir sangat besar.


Kendati mandatnya sebagai presiden akan tuntas tahun depan -- karena itu Nasdem berikhtiar mencari calon pengganti Jokowi yang dipandang sesuai kebutuhan bangsa saat ini -- Jokowi tak bisa menerimanya.


Di mata Jokowi, Anies adalah antitesanya. Karena itu diduga ia tak bakal melanjutkan legacy dan program pembangunan Jokowi. Salahnya di mana? Di mana-mana di negara demokrasi, pilpres bertujuan menghadirkan pemimpin baru.


Tentunya dengan gagasan-gagasan baru juga. Pilpres berangkat dari kesadaran bahwa tatanan sosial, aspirasi rakyat, dan tantangan internal serta eksternal negara  senantiasa berubah, sehingga diperlukan pemimpin baru yang sesuai dengan setting sosial dan politik baru.


Selain untuk memungkinkan terjadi sirkulasi pemimpin secara teratur, pilpres juga membuka peluang bagi terjadinya koreksi terhadap kebijakan pemerintahan sebelumnya. Maka, menjadi aneh manakala Jokowi menentang premis ini.


Ia ingin penggantinya secara 100% melanjutkan legacy dan program pembangunannya. Kalau saja legacy-nya bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan saintifik serta program pembangunannya terbukti berhasil, mungkin ada rasionalitas dan moralitas di situ untuk dilanjutkan penggantinya.


Masalahnya, legacy Jokowi membahayakan negara dan menyengsarakan rakyat. Sebut saja isu IKN yang tidak layak dan tidak realistik untuk diwujudkan. Proyek ini menyita APBN yang cukup besar di tengah kemiskinan rakyat yang meluas.


Tadinya, Jokowi berjanji IKN akan sepenuhnya didanai swasta. Faktanya, hingga hari ini tak ada investor yang tertarik untuk berinvestasi di sana meskipun pemerintah menawarkan sejumlah fasilitas menggiurkan bagi mereka. Kenyataan ini secara eksplisit menegaskan bahwa proyek ini berpotensi mangkrak. Apalagi dilakukan tanpa studi kelayakan dan amdal yang diperlukan.


Legacy lain Jokowi yang bermasalah adalah sejumlah Omnibus Law, seperti UU Cipta Kerja, UU Minerba, dan UU Kesehatan, yang kesemuanya berpihak pada kepentingan oligarki. Belum lagi isu korupsi dan sejumlah proyek infrastruktur yang tak operasional.


Program pembangunannya juga tak layak untuk ditiru karena hampir semuanya tak mencapai sasaran. Rata-rata pertumbuhan ekonomi era Jokowi hanya tumbuh 4%.


Itu pun yang menikmati adalah oligarki. Sebaliknya, rakyat bertambah miskin. Di tengah kemerosotan daya beli masyarakat, pemerintah membebani mereka dengan berbagai pajak untuk menutupi APBN yang jebol dan bayar utang. Lalu, legacy dan program pembangunan mana yang perlu dilanjutkan?


Sebenarnya masih banyak yang perlu ditulis untuk menggambarkan kegagalan pemerintah, namun ruang untuk itu terbatas untuk diungkap. Maka, atas dasar pikiran dan moralitas apa yang dapat menjustifikasi keinginan Jokowi agar penggantinya meneruskan legacy dan program pembangunannya? Apakah bakal cawapres sedemikian bodohnya sehingga tak dapat memajukan bangsa kalau tidak menjiplak semua yang datang dari pemerintahan sebelumnya?


Hal-hal yang mungkin menjadi alasan Jokowi berpihak pada bakal capres yang sesuai dengan seleranya adalah, pertama, ia menganggap legacy dan program pembangunannya berhasil sehingga perlu dilanjutkan tanpa perlu dipertanyakan. Aneh bkn?


Kedua, sesungguhnya ia menyadari banyak legacy-nya yang bermasalah terkait korupsi, konstitusi, demokrasi, kebebasan dan HAM. Karena ia diduga memperalat lembaga hukum untuk meraih tujuan politiknya, otomatis ia berprasangka presiden penggantinya berpotensi melakukan hal yang sama, yang dapat membawanya ke meja hijau.


Ketiga, ia ditekan oligarki -- mungkin juga oleh Cina -- untuk menyingkirkan Anies Baswedan. Memang harus diakui Anies dilihat sebagai bakal capres yang berbahaya bagi kepentingan mereka. Ia punya rekam jejak dalam soal ini.


Sebagaimana kita ketahui, Anies menghentikan 13 pulau reklamasi milik oligarki bernilai Rp 500 triliun. Yang juga mengagetkan mereka, ia tak mempan dirayu, ditekan, diancam, dan disogok untuk meloloskan proyek itu. Sikap Jokowi yang pro-oligarki bukan lagi rahasia. Secara kasat mata hal itu dapat dilihat pada kebijakan-kebijakan dan produk-produk Omnibus Law.


Keempat, Jokowi ingin mengakhiri mandatnya dengan jaminan keamanan bagi keluarganya, terutama bisnis dan karier politik anak-anak dan menantunya. Tahun lalu, Ubedillah Badrun, dosen UNJ, melaporkan anak-anak Jokowi ke KPK terkait dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme.


Terkait politik, Gibran Rakabuming kini adalah Walikota Solo yg berambisi menjadi presiden seperti bapaknya. Putera Jokowi yang lain, Kaesang Pangarep, diplot menjadi Bupati Depok pada pemilu mendatang. 


Menantunya, Bobby Nasution, adalah Walikota Medan yang tentunya punya keinginan untuk menduduki jabatan lebih tinggi lagu. Tapi bisnis dan karier politik keluarga Jokowi sangat sulit untuk berkembang -- bahkan mungkin dipermasalahkan presiden pengganti -- tanpa kerja sama dan dukungan oligarki. Dalam konteks ini, Anies tak dapat diharapkan mendukung kepentingan keluarga Jokowi.


Dari persprktif inilah kita bisa memahami ketakutan Jokowi pada Anies. Sementara, Surya Paloh melihat Anies dari perspektif yang berbeda. Pertama, ia prihatin melihat perpecahan masyarakat sejak 2014 karena perbedaan pilihan politik.


Anies, jika dipasangkan dengan bakal cawapres dukungan Jokowi, akan menyatukan kembali masyarakat. Ini penting agar pemerintah lebih produktif dalam menjalankan pembangunan. Juga untuk membuat kebijakan luar negeri yang lebih berdaya.


Kedua, Anies adalah tokoh muda bangsa yang cemerlang.  Hal itu dapat dilihat dari kinerja dan rekam jejaknya ketika memimpin Jakarta. Di bawah kepemimpinannya, bukan hanya tercipta harmoni sosial, tapi juga ia mampu menyulap Jakarta menjadi kota modern yang nyaman bagi semua lapisan sosial.


Ketiga, Anies disambut komunitas internasional karena integritas, kapasitas intelektual, dan komitmennya yang kuat pada sistem demokrasi. Hal ini penting ketika Indonesia harus bekerja sama dengan dunia global untuk mengakselerasi tujuan-tujuan nasional yang ingin dicapai.


Memang di era globalisasi, kebijakan luar negeri yang efektif dapat berkontribusi signifikan bagi kepentingan nasional. Apalagi, legacy yang akan ditinggalkan Jokowi banyak masalahnya.


Sayang, Jokowi tidak bisa menerima alasan rasional apapun terkait pencapresan Anies. Ditahannya Johnny G Plate sebagai tersangka tindak pidana korupsi sesungguhnya bertujuan ganda. Pertama, ia peringatkan Nasdem akan bahaya yang mungkin dihadapinya. Kedua, ia memperingatkan semua pihak terkait untuk tidak coba-ciba bersentuhan dengan Anies. Dengan demikian, lebih mudah bagi Jokowi untuk mengatur koalisi parpol dengan bakal capres yang diinginkan.


Pertikaian Ketum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar terkait posisi bakal cawapres bagi Prabowo akan mudah diselesaikan. Toh, kedua tokoh ini merupakan pasien rawat jalan.


Penahanan Johnny juga merupakan peringatan kepada Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri untuk tidak bermanuver untuk membuyarkan skenario Jokowi. Toh, Ganjar Pranowo yang telah dicapreskan PDI-P merupakan pasien rawat jalan juga. Jokowi bisa mencelakan PDI-P bila tiba-tiba ia memerintahkan KPK mempersangkakan Ganjar dalam tipikor e-KTP.


Terkait perselisihan dengan Paloh, nampak Jokowi agak ceroboh. Sejauh ini Paloh masih berkomitmen mendukung pmerintahan Jokowi dan tidak mempermasalahkan penahanan kadernya meskipun ini bisa berpengaruh pada perolehan suara Nasdem dalam pemilu serentak mendatang. 


Namun, kalau tuduhan terhadap Johnny tak terbukti dan Jokowi melangkah lebih jauh untuk menghancurkan Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang mengusung Anies, hal itu sangat mungkin akan merugikan Jokowi.


Dengan dua media mainstream itu, sesungguhnya Paloh sangat powerful. Ia bisa mempengaruhi perolehan suara bakal capres-cawapres Jokowi dalam pilpres mendatang. Kiprah bisnis dan karier politik anak-anak dan menantu Jokowi bisa juga terancam.


Lebih daripda segalanya, Jokowi akan diminta pertanggungjawaban bila pengganti yang didukungnya melanjutkan kerusakan yang dibuatnya. Wallahu'alam bissawab!


Tangsel, 18 Mei 2023