
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Malikussaleh, Al Chaidar Abdurrahman Puteh/Foto. Ist/akuratnews.id
AKURATNEWS.ID, JAKARTA - Perjanjian PLN EPI–Mubadala Energy
adalah tonggak penting bagi ketahanan energi nasional, tetapi dari sisi ekonomi
politik, tantangan utamanya adalah memastikan peran PEMA tidak sekadar formalitas.
Aceh harus memperoleh manfaat nyata—baik dalam bentuk pendapatan daerah,
lapangan kerja, maupun penguatan kapasitas lokal. Jika tidak, maka perjanjian
ini berisiko memperdalam jurang antara pusat dan daerah, serta memperkuat
dominasi korporasi asing atas sumber daya Aceh.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Malikussaleh, Al
Chaidar Abdurrahman Puteh menyatakan perjanjian PLN EPI dengan Mubadala Energy
adalah langkah strategis untuk memperkuat ketahanan energi nasional, khususnya
di Aceh dan Sumatera Utara.
"Namun, dari sisi ekonomi-politik (ekpol), peran PEMA
(PT Pembangunan Aceh) menjadi krusial dalam memastikan bahwa manfaat lokal
tidak tersisih oleh kepentingan pusat maupun korporasi asing," kata Chaidar.
Ia memaparkan, PLN EPI dan Mubadala Energy menandatangani
Heads of Agreement (HoA) untuk pasokan gas dari blok Andaman, dengan cadangan
lebih dari 2 triliun kaki kubik (TCF).
Tujuan utamanya adalah untuk menjamin pasokan energi domestik untuk Aceh
dan Sumatera Utara, sekaligus mengurangi ketergantungan pada LNG impor.
"Kesepakatan ini juga dikaitkan dengan agenda transisi
energi bersih, karena gas dianggap lebih ramah dibanding batubara,"
ungkapnya.
Namun, jika dilihat dari dimensi ekonomi politik, lanjutnya,
kesepakatan ini memiliki beberapa sisi yang harus dipahami oleh publik.

Perjanjian PLN EPI-Mubadala energy/Foto. Ist/akuratnews.id
"Perjanjian ini jelas memperkuat posisi pusat (PLN dan
SKK Migas) dalam mengendalikan pasokan energi.
Namun, dari sisi Aceh, dengan status daerah istimewa dan adanya PEMA,
berpotensi merasa terpinggirkan bila tidak dilibatkan secara substantif,"
ungkapnya lagi.
Ia menegaskan bahwa PEMA seharusnya menjadi jembatan
kepentingan lokal: memastikan tenaga kerja, distribusi manfaat, dan royalti
masuk ke Aceh.
"Jika PEMA hanya dijadikan “penonton” atau sekadar
simbol, maka perjanjian ini bisa memperkuat ketimpangan antara pusat dan
daerah," kata Chaidar.
Dari sisi keterlibatan korporasi asing, dalam kasus ini
Mubadala Energy, ia menyatakan keberadaan korporasi asal Abu Dhabi ini akan
membuka Aceh ke jaringan energi global. Hal ini bisa membuka peluang investasi,
tetapi juga menimbulkan risiko ketergantungan pada modal asing.
"Energi selalu terkait dengan legitimasi politik. Bila
masyarakat Aceh melihat bahwa hasil gas hanya menguntungkan pusat dan asing,
maka akan muncul sentimen ketidakadilan. Sebaliknya, bila PEMA mampu
mengartikulasikan kepentingan lokal, perjanjian ini bisa menjadi modal
legitimasi politik bagi pemerintah Aceh," paparnya.
Ia berharap PLN EPI dapat bermitra dulu dengan PEMA
(Perusahaan Daerah Aceh) sebagai representasi otonomi khusus Aceh, baru
kemudian membuka ruang bagi investor.
Kalau tidak, posisi Aceh hanya sebagai “konsumen” yang
dipaksa membeli listrik dari PLN EPI dengan harga yang ditentukan pusat,
padahal UUPA memberi hak khusus untuk mengelola sumber daya energi,"
ucapnya lagi.
Chaidar menegaskan, dengan tetap mempertahankan skema yang
ada saat ini, maka PEMA tidak diberi posisi strategis.
"Karena PEMA membeli dari PLN EPI, margin keuntungan
PLN EPI otomatis membebani masyarakat Aceh. Dan dari sisi otonomi daerah, yang
terjadi adalah reduksi atas kewenangan daerah. UUPA menjanjikan kemandirian
energi, tapi aturan ketenagalistrikan nasional menutup ruang itu,"
pungkasnya.
