Notification

×

Iklan

Iklan

Pengamat Soroti Perjanjian PLN EPI-Mubadala Energy: Peran PEMA Harus Diperkuat

Minggu, 07 Desember 2025 | 09:14 WIB Last Updated 2025-12-07T02:14:20Z

 

Pengamat Soroti Perjanjian PLN EPI-Mubadala Energy: Peran PEMA Harus Diperkuat
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Malikussaleh, Al Chaidar Abdurrahman Puteh/Foto. Ist/akuratnews.id


AKURATNEWS.ID, JAKARTA - Perjanjian PLN EPI–Mubadala Energy adalah tonggak penting bagi ketahanan energi nasional, tetapi dari sisi ekonomi politik, tantangan utamanya adalah memastikan peran PEMA tidak sekadar formalitas. Aceh harus memperoleh manfaat nyata—baik dalam bentuk pendapatan daerah, lapangan kerja, maupun penguatan kapasitas lokal. Jika tidak, maka perjanjian ini berisiko memperdalam jurang antara pusat dan daerah, serta memperkuat dominasi korporasi asing atas sumber daya Aceh.

 

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Malikussaleh, Al Chaidar Abdurrahman Puteh menyatakan perjanjian PLN EPI dengan Mubadala Energy adalah langkah strategis untuk memperkuat ketahanan energi nasional, khususnya di Aceh dan Sumatera Utara.

 

"Namun, dari sisi ekonomi-politik (ekpol), peran PEMA (PT Pembangunan Aceh) menjadi krusial dalam memastikan bahwa manfaat lokal tidak tersisih oleh kepentingan pusat maupun korporasi asing,"  kata Chaidar.

 

Ia memaparkan, PLN EPI dan Mubadala Energy menandatangani Heads of Agreement (HoA) untuk pasokan gas dari blok Andaman, dengan cadangan lebih dari 2 triliun kaki kubik (TCF).  Tujuan utamanya adalah untuk menjamin pasokan energi domestik untuk Aceh dan Sumatera Utara, sekaligus mengurangi ketergantungan pada LNG impor. 

 

"Kesepakatan ini juga dikaitkan dengan agenda transisi energi bersih, karena gas dianggap lebih ramah dibanding batubara," ungkapnya.

 

Namun, jika dilihat dari dimensi ekonomi politik, lanjutnya, kesepakatan ini memiliki beberapa sisi yang harus dipahami oleh publik.

 

Pengamat Soroti Perjanjian PLN EPI-Mubadala Energy: Peran PEMA Harus Diperkuat
Perjanjian PLN EPI-Mubadala energy/Foto. Ist/akuratnews.id

"Perjanjian ini jelas memperkuat posisi pusat (PLN dan SKK Migas) dalam mengendalikan pasokan energi.  Namun, dari sisi Aceh, dengan status daerah istimewa dan adanya PEMA, berpotensi merasa terpinggirkan bila tidak dilibatkan secara substantif," ungkapnya lagi.

 

Ia menegaskan bahwa PEMA seharusnya menjadi jembatan kepentingan lokal: memastikan tenaga kerja, distribusi manfaat, dan royalti masuk ke Aceh. 

 

"Jika PEMA hanya dijadikan “penonton” atau sekadar simbol, maka perjanjian ini bisa memperkuat ketimpangan antara pusat dan daerah," kata Chaidar.

 

Dari sisi keterlibatan korporasi asing, dalam kasus ini Mubadala Energy, ia menyatakan keberadaan korporasi asal Abu Dhabi ini akan membuka Aceh ke jaringan energi global. Hal ini bisa membuka peluang investasi, tetapi juga menimbulkan risiko ketergantungan pada modal asing. 

 

"Energi selalu terkait dengan legitimasi politik. Bila masyarakat Aceh melihat bahwa hasil gas hanya menguntungkan pusat dan asing, maka akan muncul sentimen ketidakadilan. Sebaliknya, bila PEMA mampu mengartikulasikan kepentingan lokal, perjanjian ini bisa menjadi modal legitimasi politik bagi pemerintah Aceh," paparnya.

 

Ia berharap PLN EPI dapat bermitra dulu dengan PEMA (Perusahaan Daerah Aceh) sebagai representasi otonomi khusus Aceh, baru kemudian membuka ruang bagi investor.

 

Kalau tidak, posisi Aceh hanya sebagai “konsumen” yang dipaksa membeli listrik dari PLN EPI dengan harga yang ditentukan pusat, padahal UUPA memberi hak khusus untuk mengelola sumber daya energi," ucapnya lagi.

 

Chaidar menegaskan, dengan tetap mempertahankan skema yang ada saat ini, maka PEMA tidak diberi posisi strategis.

 

"Karena PEMA membeli dari PLN EPI, margin keuntungan PLN EPI otomatis membebani masyarakat Aceh. Dan dari sisi otonomi daerah, yang terjadi adalah reduksi atas kewenangan daerah. UUPA menjanjikan kemandirian energi, tapi aturan ketenagalistrikan nasional menutup ruang itu," pungkasnya.