Notification

×

Iklan

Iklan

BPOM Jangan Ada di Pusaran BPA, Pengamat Nilai Soal BPA Kental dengan Persaingan Usaha

Jumat, 02 Desember 2022 | 17:29 WIB Last Updated 2022-12-06T10:44:55Z

 

Para Pakar yang menyikapi soal BPA, yang dipandang dipaksakan.

AKURAT NEWS | JAKARTA Wacana pelabelan Bisfenol A (BPA) yang hanya diterapkan terhadap galon guna ulang yang kini sangat gencar disosialisasikan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dinilai terlalu dipaksakan. Pakar-pakar lintas universitas dan lintas keilmuan terdiri dari pakar kesehatan, polimer, persaingan usaha, dan kebijakan publik sepakat menyuarakan bahwa kebijakan itu tidak perlu dilakukan. 

 

Dr. Hermawan Saputra, SKM, MARS., CICS, yang merupakan Pakar Kesehatan Masyarakat UHAMKA dan Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) yang menjadi salah satu pembicara dalam acara mengatakan, labelisasi BPA itu menjadi suatu keharusan kalau memang sudah ada evidence based-nya atau ada bukti bahwa air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang itu sudah  mengganggu aspek kesehatan.

 

“Kalau belum ada bukti, seharusnya BPOM tidak perlu membuat panik masyarakat dengan adanya kebijakan yang bisa pro bisa kontra, dan bisa jadi akan mengganggu iklim persaingan usaha dan membuat kegamangan masyarakat itu sendiri,” ujarnya dalam diskusi media “Polemik Pelabelan BPA AMDK Galon” yang diselenggarakan Orbit Indonesia di Jakarta, Kamis 1 Desember 2022.

 

Dia mengatakan para ahli yang membuat kemasan galon guna ulang itu juga pasti sudah sangat memahami soal keamanan kemasan polikarbonat yang berbahan BPA itu, sehingga mereka merekomendasikannya untuk digunakan sebagai kemasan AMDK. Karenanya, dia meminta agar ketika berbicara mengenai dampak terhadap kesehatan masyarakat, jangan sampai itu dipakai hanya untuk menentukan sikapnya sendiri. 

 

“Karena, masyarakat itu asimetris informasi, orang yang tidak paham utuh tentang apa yang dikonsumsi tapi mereka membutuhkan sesuatu yang dibutuhkan oleh keseharian yang menjadi bahan pokok,” tukasnya.

 

Bukan Kebijakan Bijaksana 

 

Dr. Hermawan mengungkapkan, dalam Peraturan Badan POM nomor 20 tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, itu sudah diatur mengenai batas maksimal migrasi senyawa tertentu yang terkandung dalam pengemasan kepada substansi atau materi bahan pangannya. Tetapi kalau misalnya selama ini riset itu kurang dan bahkan tidak ada dampak yang serius yang bisa menyebabkan gangguan kesehatan, Hermawan tidak setuju jika hal itu kemudian muncul menjadi persoalan. 

 

“Kenapa kita harus memunculkan suatu persoalan atau kebijakan baru? Padahal secara evidence, belum ada laporan resmi, belum ada juga riset yang kuat yang mengatakan bahwa memang pada air minum dalam kemasan galon guna ulang ini berkaitan dengan adanya potensi toksisitas,” katanya.

 

Dia yakin dalam memproduksi AMDK galon guna ulang, industrinya juga dilengkapi dengan protokol yang sangat ketat dan sudah melewati tahapan yang sesuai peraturan. “Jadi, saya kira sekarang tinggal pengawasannya terhadap kesehatan, apakah itu betul-betul berbasis evidence atau tidak,” ucapnya.

 

Menurutnya, wacana kebijakan BPOM yang akan melabeli “berpotensi mengandung BPA” terhadap galon guna ulang bukan opsi yang bijaksana. “Kita menginginkan kebijakan yang antisipatif, tetapi pelabelan bukan opsi bijaksana,” tandasnya.

 

Hanya Sisa Bahan Baku

 

Di acara yang sama, Pakar Polimer Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D., juga menegaskan, bahwa BPA itu memang dibuat untuk bahan baku polikarbonat dan aman digunakan untuk kemasan air minum dalam kemasan (AMDK). Penggunaan juga sangat kecil, sebagai bahan campuran dan harus mengikuti ambang batas yang telah diatur oleh BPOM. 

 

“Jadi, sifatnya BPA ada di sana itu sebagai sisa dari bahan baku yang belum bereaksi menjadi polikarbonat. Yang sisa ini juga jumlahnya tidak banyak, apalagi selama proses itu dilakukan juga pembersihan bpa. Misalnya dengan teknik steaming, biji plastiknya di-steam terlebih dahulu, sehingga nanti BPA yang tersisa dalam polikarbonat itu bisa hilang atau berkurang sehingga jadi food grade,” tuturnya.

 

Karenanya, dia menilai bahwa pelabelan BPA terhadap galon guna ulang polikarbonat itu terlalu berlebihan. “Kalau mau dilabeli semua, mungkin dirasa lebih fair, tapi kalau hanya satu yang dilabeli dan lainnya tidak, ya nggak fair. Apalagi melabeli bahan yang tidak menggunakan BPA dengan label Free BPA, sedangkan etilen glikolnya tidak dilabeli. Permasalahan-permasalahan seperti ini dari kacamata ilmu pengetahuan ya ganjil, lucu. Melabeli sesuatu label yang tidak sepantasnya dilabeli” tambahnya.

 

Menurutnya, AMDK galon guna ulang juga sudah dipakai selama puluhan tahun dan tidak ada laporan masyarakat ada yang sakit atau meninggal karena mengkonsumsinya. “Mengapa begitu? Karena memang dari tes-tes yang kami tahu, BPA yang ada di dalam air akibat menggunakan polikarbonat itu rendah dan masih jauh dari batas aman BPOM. Jadi, wajar kalau memang tidak ada problem yang muncul seperti kematian atau orang sakit karena galon polikarbonat,” tukasnya.

 

Pola lama dengan hanya menempelkan logo BPOM saja itu, menurut Zainal sudah cukup karena berarti kemasan pangan tersebut sudah memenuhi seluruh persyaratan BPOM. “Ini jauh lebih bagus ketimbang harus menambahi lagi pelabelan BPA yang hanya memunculkan masalah baru di masyarakat,” ujarnya.

 

Pandangan serupa lainnya juga disampaikan Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang juga Pengamat Persaingan Usaha saat menyampaikan paparannya.  Dia menyayangkan jika consumer welfare atau kesejahteraan konsumen yang didengung-dengungkan sebagai tujuan dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Persaingan Usaha yang sudah dinikmati masyarakat selama ini, tiba-tiba saja menjadi rusuh hanya karena satu pendekatan yang limbung dan grey area dan tidak didukung scientific evidence based seperti wacana kebijakan pelabelan BPA galon guna ulang.

 

“Kok bisa ya enak saja. Terlebih tadi di tengah beban resesi. Jangan ditambah lagi lah. Kayaknya itu tidak prioritas. Saya harap BPOM lebih memperhatikan regulatory impact assessment ketika mendengungkan suatu statement atau regulasi barunya,” katanya.

 

Dia mengingatkan BPOM agar jangan membuat hidup masyarakat lebih susah dengan hal-hal yang belum jelas seperti mewacanakan pelabelan BPA galon guna ulang ini.

 

“Di keluarga, kami pakai produk air mineral guna ulang kok hampir setiap hari dan tidak apa-apa. Jadi, sebaiknya BPOM lebih bijaksana dan lebih sensi lah. Mungkin kalau ada satu scientific evidence based yang betul-betul menggegerkan dunia tentang ini, ya boleh saja. Tapi kan kita harus belajar, bukan ikut-ikutan. Jadi menurut saya, silent jauh lebih bijaksana daripada buat kondisi semua kisruh dan parsial. Bayangkan saudara-saudara kita yang tidak begitu mengerti apa yang menjadi polemik. Apa itu yang dicari? Saya menyesalkan kalau itu yang dicari. Maka hati-hatilah dalam membuat regulasi dan pikirkanlah dampaknya,” tandasnya.

 

Regulator Tidak Ikut Campur

 

Di acara ini, Pengamat Kebijakan Publik yang merupakan Alumnus George Washington University Amerika Serikat, Agus Pambagio, juga menyuarakan hal yang sama. Dia melihat wacana kebijakan pelabelan BPA galon guna ulang ini sangat kental kaitannya dengan adanya isu persaingan usaha. Pemerintah sebagai regulator sebaiknya tidak ikut campur dan duduk di tengah.

 

“Pertanyaan saya juga kenapa hanya galon? Kan yang memakai kemasan itu banyak, termasuk makanan dikemas di kaleng, minuman dan sebagainya. Kenapa hanya galon? Unsur lain plastik lainnya kan banyak”, kata Agus.

 

Menurut Agus, BPOM itu bertanggung jawab terhadap kualitas dari pangan dengan memberikan izin edar di awalnya, lalu melakukan pengujian izin edar dan mengawasi serta menindak ketika ada pengaduan masyarakat. “Jadi, saya berharap pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan yang dibuat oleh BPOM secara sepihak karena tidak ada uji scientific-nya,” pungkasnya.