Notification

×

Iklan

Iklan

Komitmen G7 Dalam Transisi Energi

Senin, 29 Mei 2023 | 14:42 WIB Last Updated 2023-05-29T07:42:24Z



Eko Sulistyo

 

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara G7 di Hiroshima, Jepang, minggu lalu, membuat beberapa kemajuan signifikan dalam mengatasi krisis iklim.  Terutama memberikan lebih banyak kepastian tentang penghentian penggunaan bahan bakar fosil. 

 

Negara-negara anggota G7 "menggarisbawahi komitmen mereka” untuk menghapusnya paling lambat pada 2050.

 

Dalam G7 Hiroshima Leaders Communique, 20 Mei 2023, pesannya menjadi bahasa yang menandakan peningkatan ambisi di bidang ini.  G7 juga berkomitmen untuk “meningkatkan kapasitas angin lepas pantai secara kolektif sebesar 150 gigawatt (GW) pada 2030, berdasarkan target masing-masing negara dan peningkatan kolektif Photovoltaik (PV) surya menjadi lebih dari 1 terrawatt (TW) pada 2030.”  Ini sejalan dengan jalur International Renewable Energy Agency (IRENA) untuk membatasi pemanasan hingga 1,5°C (IRENA, 2022).

 

G7 juga  menyerukan kepada semua pihak (parties), terutama negara-negara ekonomi maju, untuk menyelaraskan target NDC (Nationally Determined Contribution)  atau komitmen dan aksi iklim nasional mereka pada 2030 dengan jalur 1,5 derajat celsius, dan Net Zero Emission (NZE) atau nol bersih paling lambat 2050.   Mereka diminta meninjau kembali dan memperkuat NDC pada 2030, dan mempublikasikannya atau memperbarui LTS (long-term strategy) secepat mungkin, sebelum KTT Iklim PBB - COP28, September 2023.

 

Sebelumnya pada April 2023 lalu, di Sapporo, Jepang, para menteri iklim dan energi G7 untuk pertama kalinya telah membuat seruan eksplisit untuk mengakhiri pembangunan pembangkit listrik berbasis batu bara (PLTU) baru secara global. Komitmen tegas untuk “tidak ada batubara baru” ini menandakan tren yang berkembang pada para pemimpin G7 atas PLTU di luar China.

 

Meski berjanji untuk mempercepat peralihan ke arah energi yang lebih bersih dan terbarukan, namun para menteri G7 belum menetapkan jadwal untuk menghentikan PLTU. 

 

Komitmen untuk mengakhiri pembangunan PLTU baru, dan mendukung negara lain untuk hal yang sama, akan menjadi landasan penting untuk komitmen “tidak ada batu bara” lebih lanjut di agenda COP 28 mendatang di Uni Emirat Arab.

 

Memastikan Komitmen

 

Tentu ada catatan kritis, ketika G7 sebagai kumpulan negara-negara maju dan kaya di dunia, terkesan kurang maksimal dalam memimpin perubahan iklim. Apa yang paling terlihat di KTT G7 Hiroshima adalah bahwa negara-negara G7 tidak akan dapat memenuhi tenggat waktu yang ketat untuk mengurangi emisi mereka hingga nol.

 

Sebagai Presidensi G7 tahun ini, Jepang sendiri telah mendorong para menteri lingkungan hidup pada pertemuan di Sapporo agar menyadari bahwa anggota G7 tidak akan dapat memenuhi tenggat waktu yang konkret.

 

Hal ini mengungkapkan betapa tindakan dan insentif yang lebih ketat mungkin diperlukan untuk mengatasi tantangan saat ini.  Dan tujuh negara G7 saat ini juga sedang menghadapi perjuangan masing-masing melawan perubahan iklim.

 

Kritik dan reaksi keras terhadap Hiroshima Summit ini datang dari Kepala Global Political Strategy, Climate Action Network International, Harjeet Singh.  Di twitternya (@harjeet11), G7 dianggap kurang meyakinkan sebagai referensi menjaga pemanasan global, sementara pada saat yang sama terus berinvestasi dalam PLTU dan gas, dan itu jauh dari prinsip darurat iklim.

 

Menurutnya, G7, di antara negara-negara terkaya di dunia, sekali lagi terbukti sebagai pemimpin yang buruk dalam kepemimpinan iklim dengan pernyataan mereka dari KTT Hiroshima. Membayar basa-basi untuk kebutuhan untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajad celcius. 

 

Sementara pada saat yang sama terus berinvestasi dalam gas menunjukkan keterputusan politik yang aneh dari sains dan pengabaian total terhadap keparahan darurat iklim.

 

Kemunafikan dari pencemar sejarah karena dampak iklim terus meningkat membuat standar rendah dan membahayakan upaya global untuk memerangi krisis. Negara-negara G7 harus datang ke COP28 dengan fokus yang jelas untuk melakukan bagian mereka yang adil dalam menghapuskan bahan bakar fosil secara bertahap dan memberikan pendanaan iklim.

 

Negara anggota G7 menyumbang 40% dari aktivitas ekonomi dunia, dan seperempat emisi karbon global. Industrialisai mereka yang dimulai sejak pertengahan Abad 19, dengan energi listrik berbasis batu bara, telah lebih banyak dalam menghasilkan karbon.  Namun dukungan mereka sangat diperlukan terhadap negara-negara yang kurang mampu yang seringkali paling terdampak perubahan iklim dan memiliki sumber daya yang paling sedikit untuk memitigasi dampak tersebut.

 

Ambang Batas 1,5 Derajat Celsius

 

Untuk memastikan setiap ikhtiar selaras dengan jalur “ambang batas” 1,5 derajat celsius dan tujuan dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan, G7 harus berkolaborasi dengan negara-negara berkembang untuk membangun rantai pasokan energi bersih global yang andal, terjangkau, dan berkelanjutan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

 

Sebuah laporan PBB, UN Weather Agency, menyebut cuaca ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim menyebabkan 2 juta kematian dan kerusakan ekonomi sebesar US $ 4,3 triliun dalam 50 tahun terakhir.  Sementara menurut Departemen Meteorologi Dunia (WMO), 11.778 bencana cuaca dilaporkan antara 1970 dan 2021. Laporan tersebut menemukan 90% kematian yang terjadi akibat bencana tersebut terjadi di negara-negara berkembang.

 

Sebagian besar kerusakan ekonomi antara 1970 dan 2021 terjadi di Amerika Serikat, dengan total US $1,7 triliun.  Sementara dampak ekonomi terhadap produk domestik bruto, lebih terasa di negara-negara berkembang.

 

WMO telah berulang kali memperingatkan tentang dampak perubahan iklim berupa kenaikan suhu yang telah meningkatkan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem, termasuk banjir, angin topan, siklon, gelombang panas, dan kekeringan.

 

Untuk itu, secara global, menurut Special Report: Global Warming of 1.5 o C, harus ada penurunan emisi setidaknya 45% pada 2030 diukur sejak 2005, dan harus menjadi nol bersih pada 2050, agar memiliki peluang realistis menjaga kenaikan suhu dalam 1,5 derajat celcius dari masa pra-industri.  Sebagian besar kewajiban untuk memastikan hal ini terletak pada negara-negara kaya dan maju, yang dianggap paling bertanggung jawab atas pemanasan global.

 

Komunike G7 Hiroshima Summit, pada akhirnya harus dinilai sebagai dorongan para pemimpin G7 yang ingin mendorong transisi global menuju ekonomi berbasis energi bersih. Untuk kemajuan konkret mereka harus menunjukkan komitmen meningkatkan ambisi iklim domestik melalui dekarbonisasi sepenuhnya sektor kelistrikan mereka pada 2035, elektrifikasi sektor tranportasi, serta mengurangi konsumsi dan produksi bahan bakar fosil mereka.

 

Para anggota G7 juga harus berkomitmen untuk memobilisasi arus keuangan publik dan swasta yang jauh lebih besar untuk mendekarbonisasi ekonomi global sejalan dengan sasaran batas kenaikan suhu dalam Perjanjian Paris.  Termasuk janji bantuan US $ 100 milyar untuk negara-negara berkembang memitigasi perubahan iklim dan transisi energi.

 

--------------

Penulis adalah Komisaris PT PLN (Persero).