Notification

×

Iklan

Iklan

Para Ahli Menyerukan Perubahan pada Pengujian Pasien Kanker Paru-Paru

Selasa, 27 Desember 2022 | 14:23 WIB Last Updated 2022-12-27T07:23:11Z

Ilustrasi Perokok Wanita yang dinilai lebih rentan terkena kanker paru-paru./pixabay/akuratnews.id


AKURATNEWS.ID, JAKARTA – Perkembangan teknologi terus berkembang di tengah kondisi kesehatan masyarakat yang juga turut mengalami perubahan, terlebih dalam memberikan layanan kesehatan tepat guna kepada para pasien, salah satunya pelayanan kesehatan bagi penderita penyakit paru.

 

Selama ini bagi setiap pasien paru yang menjalankan terapi kesehatan mungkin agak bosan jika merunut perkembangan kesehatannya. Namun, di tengah kondisi tersebut dunia ilmu pengetahuan di sector kesehatan telah menemukan treatmen yang harus dilakukan bagi para penderita penyakit paru-paru.

 

Konsensus dari perkumpulan para ahli menyerukan, diagnosa dan pengobatan yang paling umum untuk kanker paru-paru di Indonesia dan Asia membutuhkan perubahan mendesak agar lebih memperhitungkan karakteristik pasien yang unik pada wilayah tersebut, demikian informasi yang diterbitkan dalam Journal of Thoracic Oncology baru-baru ini.

 

Dalam jurnal World Health Organization- International Agency for Research on Cancer, sekitar 60% dari kasus kanker paru-paru di dunia terjadi di Asia, dengan lebih dari 34,000  kasus yang didiagnosis di Indonesia setiap tahun. Namun pedoman diagnosa dan pengobatan di Asia saat ini mengikuti model yang berasal dari Amerika Serikat dan Eropa, di mana karakteristik pasien dan penyakitnya berbeda.

 

Misalnya, pada satu gen tertentu, yang disebut reseptor faktor pertumbuhan epidermis (EGFR), mutasinya lebih tinggi pada pasien Asia(lebih dari 50% pasien NSCLC).6 Mengidentifikasi status EGFR pasien dengan NSCLC dapat membantu dokter dalam menentukan perawatan yang paling tepat untuk pasien mereka, sehinggamenjadikan mutasi EGFR sebagai 'biomarker' yang ideal untuk memandu keputusan pengobatan.


Pasien Wanita Usia Muda di Asia Paling Rentan Terhadap Rokok

 

Sekitar dua pertiga tenaga kesehatan yang disurvei di wilayah tersebut menyatakan bahwa, kurang dari setengah pasien kanker paru-paru mereka yang telah menjalani pengujian untuk biomarker.

 

Walaupun merokok masih menjadi faktor risiko utama kanker paru-paru, pasien dengan usia muda, terutama wanita, yang mengidap kanker paru-paru memilki kemungkinan lebih tinggi untuk tidak pernah merokok pada populasi Asia, dibandingkan dengan wilayah lain di seluruh dunia. Kanker paru-paru pada non-perokok lebih mungkin menunjukkan mutasi EGFR.

 

Prof. Tetsuya Mitsudomi, Profesor, Pusat Aliansi Penelitian Global dan Bedah Toraks, Rumah Sakit Kindai, Jepang, mengatakan konsensus ahli yang dirilis hari ini (26 Desember 2022) menyerukan pengujian biomarker rutin untuk pasien kanker paru-paru bukan sel kecil di seluruh negara Asia, sebagai langkah yang diperlukan dalam upaya untuk menghilangkan kanker paru-paru sebagai penyebab kematian,” ujarnya dalam keterangannya, 26 Desember 2022.


“Pengujian biomarker untuk semua pasien kanker paru-paru bukan sel kecil di Asia dapat membantu meningkatkan diagnosa dan mengurangi prosedur yang tidak dibutuhkan dan memastikan pilihan pengobatan yang paling bermanfaat untuk setiap pasien, dan pada akhirnya memberikan hasil kesehatan terbaik," lanjutnya.

 

Konsensus tersebut merupakan hasil diskusi ekstensif antar para ahli dari beberapa negara Asia, didukung oleh Aliansi Ambisi Paru Paru (LAA). LAA adalah kolaborasi nirlaba yang didirikan oleh AstraZeneca, Koalisi Global Kanker Paru Paru (GLCC), Guardant Health, dan Asosiasi Internasional untuk Studi Kanker Paru (IASLC).

 

Meskipun tingkat kematian akibat kanker paru-paru telah stabil atau menurun di negara-negara Barat, tapi di Asia mengalami peningkatan selama dua dekade terakhir.

 

Para ahli percaya bahwa tingkat kematian akibat kanker yang tinggi di negara - negara Asia berpenghasilan rendah dan menengah dapat dikaitkan dengan beberapa faktor, termasuk pasien tidak selalu memiliki akses pengobatan yang tepat untuk mereka.