![]() |
| Ilustrasi Terminal Kapal Feri/Foto. Pelindo/akuratnews.id |
AKURATNEWS.ID, JAKARTA - Menjelang masa liburan Natal dan
Tahun Baru (Nataru) 2025, arus penumpang yang menggunakan moda transfortasi
laut diperkirakan kembali melonjak di berbagai pelabuhan utama Indonesia.
Gelombang masyarakat yang hendak mudik, berwisata, atau sekadar menyeberang
antarpulau, membuat pelabuhan menjadi simpul keramaian yang padat dan penuh
risiko.
Di tengah lonjakan mobilitas tersebut, pengamat maritim DR.
Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.Si.T., S.H., M.H., M.Mar., mengingatkan
kepada pihak terkait bahwa keselamatan penumpang harus menjadi prioritas
mutlak, terutama ketika infrastruktur laut nasional belum sepenuhnya siap
menghadapi tantangan baru seperti potensi kebakaran kendaraan listrik.
“Momen Nataru selalu membawa lautan manusia ke pelabuhan. Di
situlah risiko meningkat, dan di situlah negara harus hadir dengan standar
keselamatan yang tidak boleh dinegosiasikan,” ujar Capt. Hakeng di Jakarta,
Minggu (14/12/2025).
Lebih lanjut ia menekankan pula bahwa perjalanan laut bukan
sekadar perpindahan fisik dari satu pulau ke pulau lain, tetapi sebuah ritus
kebangsaan yang menuntut kedisiplinan, kepedulian, serta kesadaran kolektif.
“Manifes penumpang yang akurat, briefing keselamatan yang
dipahami semua orang, serta jalur evakuasi yang dikuasai petugas adalah sebagai
syarat minimum agar lonjakan arus pada musim liburan tidak berubah menjadi
potensi tragedi,” tegas Capt. Hakeng.
Dijelaskan pula oleh pengamat maritim dari Ikatan Keluarga
Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC) ini, bahwa salah satu isu yang mencuat
jelang Nataru, adalah kebijakan sejumlah otoritas pelabuhan yang melarang
sementara mobil listrik naik kapal feri.
Kebijakan tersebut memicu perdebatan publik, terutama di
kalangan pengguna kendaraan listrik yang merasa pembatasan itu menghambat
mobilitas mereka. Namun bagi Capt. Hakeng, keputusan otoritas pelabuhan
tersebut bukan hanya tepat, melainkan merupakan tindakan yang sangat rasional
dan berbasis sains.
“Pelarangan mobil listrik di kapal feri sama sekali bukan
anti-modernitas. Ini keputusan berbasis sains dan keselamatan publik, bukan
sentimen terhadap teknologi baru,” tegasnya, seraya menambahkan bahwa baterai
lithium-ion yang menjadi sumber tenaga kendaraan listrik menyimpan energi dalam
densitas yang sangat tinggi.
Dalam kondisi stabil, teknologi itu mewakili masa depan
transportasi dan efisiensi energi. Namun kegagalan baterai dapat memicu thermal
runaway, yaitu reaksi berantai yang menghasilkan panas ekstrem, ledakan kecil,
serta api yang sulit dipadamkan.

Capt. Hakeng/Foto. Pribadi/akuratnews.id
Situasi tersebut, menurut Capt. Hakeng, sangat berbeda
dengan kebakaran kendaraan konvensional yang umumnya dapat ditangani dengan
teknik pemadaman standar. Dunia maritim memiliki tantangan yang jauh lebih
rumit: ruang sempit, ventilasi terbatas, serta jalur evakuasi yang kecil dan
kerap dipadati penumpang.
“Maka api dari baterai lithium-ion tidak tunduk pada logika
pemadaman konvensional. Alat pemadam dari Air, busa, dan CO₂ semuanya tidak
efektif. Jika kebakaran terjadi di geladak kapal, situasinya bisa menjadi
sangat berbahaya dalam waktu sangat cepat,” ujar Capt. Hakeng seraya
menceritakan sejumlah kasus global sebagai peringatan keras.
Pada 2022, kapal kargo Felicity Ace terbakar di tengah
Samudra Atlantik. Kebakaran yang melibatkan kendaraan listrik tersebut membuat
proses pemadaman nyaris mustahil dan berujung pada tenggelamnya kapal. Insiden
serupa juga terjadi di Norwegia, ketika sebuah kendaraan listrik terbakar di
terminal pelabuhan, tetap menyala meski disiram air berkali-kali, dan
mengakibatkan aktivitas dermaga lumpuh selama berjam-jam.
Ditambahkan olehnya bahwa di Indonesia sendiri pun pernah
menghadapi situasi yang mengarah pada risiko serupa. Di Merak pada 2023, sebuah
mobil listrik terbakar tidak lama sebelum naik ke kapal feri, memaksa otoritas
menghentikan antrean dan mengevakuasi ratusan penumpang dari area
keberangkatan. Kasus lain terjadi di Surabaya ketika sebuah motor listrik
mengalami overheating di area menunggu kapal cepat, memicu kepanikan dan
memaksa petugas melakukan langkah darurat.
“Kalau di dermaga terbuka saja penanganannya sulit,
bayangkan apa jadinya jika kejadian itu berlangsung di geladak kapal yang
tertutup dan penuh sesak. Ini bukan alarm palsu. Ini ancaman nyata,” kata Capt.
Hakeng.
Pengamat maritim yang dikenal kritis ini pun menambahkan,
bahwa geladak kendaraan pada kapal feri biasanya diisi kendaraan secara rapat
untuk mengoptimalkan kapasitas angkut.
Kondisi tersebut membuat aliran panas terperangkap dan ruang
gerak menjadi terbatas. Jika terjadi thermal runaway, suhu dapat melampaui
1.000°C, cukup untuk melemahkan struktur baja kapal dan merusak kabel-kabel
vital yang menopang sistem kelistrikan dan keselamatan kapal. Karena itu,
menurut Capt. Hakeng, risiko kebakaran kendaraan listrik di atas kapal feri
jauh lebih besar daripada kendaraan berbahan bakar fosil.
Bersamaan pula ia menyayangkan bahwa Indonesia belum
memiliki sarana penting untuk menghadapi potensi kebakaran kendaraan listrik di
lingkungan maritim. Sarana tersebut mencakup kontainer isolasi khusus untuk
kendaraan listrik yang bermasalah, sistem pendinginan cepat untuk memperlambat
reaksi kimia dalam baterai, awak kapal yang terlatih menghadapi skenario
thermal runaway, serta prosedur evakuasi yang dirancang khusus untuk tipe
kebakaran yang tidak bisa dipadamkan dengan metode konvensional.
“Dengan kondisi seperti ini, pelarangan EV bukan pilihan
politik. Ini pilihan keselamatan,” tegas Capt. Hakeng.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa edukasi publik harus
diperkuat menjelang masa liburan akhir tahun. Manifes yang lengkap, pembatasan
muatan kendaraan, pemisahan kendaraan pribadi dan kendaraan logistik, serta
pemeriksaan menyeluruh terhadap kondisi kendaraan harus diterapkan secara
ketat, bukan sekadar imbauan yang bisa diabaikan. Ia menilai bahwa otoritas
pelabuhan harus memastikan setiap operator kapal mematuhi standar keselamatan
modern.
Capt. Hakeng juga mendesak pemerintah menerbitkan regulasi
teknis yang lebih tegas dan mengikat mengenai pelarangan mobil listrik di kapal
feri. Menurutnya, aturan yang berlaku saat ini masih terlalu umum dan tidak
detail dalam menetapkan standar operasional lapangan.
Ia merekomendasikan agar pelarangan tersebut dituangkan
dalam bentuk peraturan menteri yang memuat definisi risiko, standar pengecekan
kendaraan, ketentuan penempatan kendaraan di pelabuhan, dan sanksi tegas bagi
operator yang melanggar.
Selain itu, Capt. Hakeng mendorong pemerintah membangun
infrastruktur penanganan kebakaran EV di pelabuhan, seperti kontainer isolasi
tahan panas dan sistem deteksi dini berbasis sensor suhu.
“Tanpa infrastruktur, larangan hanya jadi tulisan tanpa
makna,” ujarnya seraya meminta pemerintah memastikan setiap operator feri
melaksanakan pelatihan berkala menghadapi skenario kebakaran baterai, terutama
menjelang periode puncak Nataru. “Simulasi itu tidak bisa sekadar formalitas.
Harus realistis, harus serius,” tegasnya.
Menurut Capt. Hakeng, pemerintah daerah pun memegang peran
strategis dalam pengawasan lapangan karena pelabuhan merupakan titik pertemuan
antara laut dan daratan. Pemerintah daerah memiliki kapasitas untuk melakukan
inspeksi kendaraan, memastikan kepatuhan prosedur keselamatan, dan melakukan
edukasi langsung kepada masyarakat.
Diingatkannya pula bahwa keselamatan laut bukan semata-mata
urusan teknis pelayaran, melainkan bagian dari strategi nasional menjaga
stabilitas sosial dan ekonomi Indonesia.

