Notification

×

Iklan

Iklan

Cerpen: Wanita Suamiku

Sabtu, 27 Januari 2024 | 09:04 WIB Last Updated 2024-01-27T02:04:41Z

 

Ilustrasi Cover Wanita Suamiku/Ist

Judul: Wanita Suamiku

Penulis: Roy Wijaya

 

"Kita memang sudah menikah. Tapi jangan harap aku akan memberikan cintaku."

 

"Ini hanya sementara, Lin. Tidak lama.” Satya menatap lamat-lamat perempuan yang baru dinikahinya beberapa jam yang lalu itu. Mereka tengah duduk di bibir ranjang pengantin yang menguarkan aroma melati. “Aku minta waktu untuk berusaha membujuk Bunda.”

 

Sekian detik Lintang terperenyak, tidak menyangka lelaki dengan tubuh tinggi tegap di hadapannya tega mengatakan hal paling menyakitkan itu bahkan ketika akad belum lama terucap dari bibirnya.

 

Gadis berusia jelang dua puluh tiga tahun itu menggigit-gigit bibir bawahnya, mencoba melerai rasa sesak yang tiba-tiba membekap dada. Buru-buru ia mengatur napas, mencoba mengendalikan gelombang di hati yang hampir menyapu daratan. Harum bunga sedap malam yang berada di atas nakas justru menambah ngilu di hati Lintang. Susah payah ia mendekor kamar pengantin ternyata berakhir pada sikap sedatar layar monitor yang dipertontonkan Satya.

 

“Aku minta waktu bicara pada Bunda. Kita bisa berpisah kalau Bunda sudah bisa menerima kenyataan kita tidak saling mencintai.”

 

Lintang menelan ludah. Ia sadar sepenuhnya jika pernikahan ini hasil perjodohan almarhum ayah Satya dan almarhum ayahnya. Namun, bukan berarti ia main-main saat melakukannya. Gadis yang belum selesai kuliah itu sudah bertekad akan belajar menjadi istri yang baik dan tentu saja belajar mencintai dan menerima Satya.

 

Lintang berpikir keinginannya untuk meraih cinta Satya akan bersambut. Sejak tanggal pernikahan ditentukan dan ia tidak mampu lagi mengelak, Lintang selalu berdoa semoga suaminya kelak akan berusaha menjalani pernikahan ini dengan baik. Bukankah rasa cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu? Keyakinan itulah yang ia genggam kuat-kuat. Namun, ucapan suaminya malam ini membuat hatinya remuk. Usahanya bertepuk sebelah tangan. Ternyata Satya memintanya berkorban, bukan berjuang bersama.

 

“Jadi berapa lama kita akan berpura-pura jadi suami istri, Mas?” Akhirnya Lintang bisa meloloskan kalimat setelah sekian menit hanya membisu.

 

Satya mengalihkan pandangan dari wajah Lintang. Ia menatap langit-langit kamar, mencoba mengurai pikiran seruwet benang kusut. “Aku tidak bisa memastikan, Lin. Tergantung kondisi Bunda. Kamu tahu kan, kalau Bunda punya darah tinggi dan penyakit lainnya. Aku harus hati-hati dan cari waktu yang tepat untuk bicara dengannya.”

 

Lintang menarik napas panjang, melepas rasa kecewa yang menggumpal di dada. Ia merasa telah masuk perangkap manusia paling egois di dunia. Sejak tadi Satya terus menuntutnya untuk mengerti sementara laki-laki itu terlihat tidak peduli dengan perasaannya sebagai istri. Kalau pun belum bisa menganggapnya sebagai istri, minimal menghargai perasaannya sebagai perempuan. Andai mampu, ia ingin mendaratkan tinju di wajah datar Satya.

 

“Jadi aku harus menunggu tanpa kepastian?” Lintang tidak ingin terlihat lemah dan kalah di hadapan Satya. Ia harus memperjuangkan nasibnya. Ia tidak ingin nasibnya digantung seenaknya. Perempuan bertubuh semampai itu merasa perlu menyiapkan perasaan ketika mereka benar-benar berpisah. Tidak mudah menjanda di usia pernikahan yang masih berbilang purnama.

 

Satya mengganjur napas. Matanya belum beralih dari langit-langit kamar.

 

“Membiarkan hubungan seperti ini tanpa kepastian waktu sama saja dengan menzalimi saya, Mas.” Bola mata bening milik Lintang menatap tajam Satya. Ia sudah tidak mampu lagi mengerem laju gelombang yang bergulung-gulung di hatinya.

 

“Harus ada batas waktu yang pasti. Saya bukan boneka yang tidak punya perasaan.” Lintang tersekat di ujung kalimat. Susah payah ia menahan air mata agar jangan sampai tumpah di hadapan manusia dengan hati sedingin salju kutub utara itu.

 

“Aku pastikan, tidak lebih dari empat bulan, kamu sudah bebas. Aku akan segera cari waktu terbaik untuk bicara dengan Bunda.” Akhirnya Satya memberi keputusan. “Semoga kondisi Bunda stabil,” lanjutnya.

 

“Kalau dalam waktu empat bulan Mas Satya belum berhasil membujuk Bunda?”

 

Satya tertegun. Kemungkinan itu belum pernah ia pikirkan sebelumnya. Sampai saat ini ia masih yakin suatu hari Bunda akan luluh dan mengizinkannya menikah dengan perempuan pilihannya.

 

“A-aku belum memikirkannya, Lin.” Jemari kokoh Satya menyugar rambut lurus tebal miliknya.

 

Sesaat pandangan mata Lintang terkunci pada wajah tampan Satya kala menyugar rambut. Buru-buru ia memalingkan wajah sembari mengingatkan jika manusia di depannya ini tidak pernah menginginkan pernikahan ini.

 

“Nanti aku pikirkan lagi kalau sampai empat bulan Bunda belum juga mengizinkan kita berpisah.”

 

Lintang membuang napas kasar, lagi-lagi dia yang harus mengalah. “Baiklah, jika itu maumu,” batin Lintang. Dalam hati, perempuan berlesung pipit itu berjanji akan menaklukan hati Satya sebelum waktu yang ditentukan habis. Ia bertekad tidak akan menyerah.

 

“Okelah, kalau memang itu maunya Mas Satya. Toh memang cinta nggak bisa dipaksakan.” Lintang berujar sok bijak padahal batinnya merintih.

 

Satya menarik napas lega. “Terima kasih sudah mengerti,” ujarnya kemudian. Diam-diam ia salut dengan ketegaran Lintang.

 

Selama sepekan berada di rumah paman Lintang, Satya memperlakukan istrinya dengan mesra. Sikapnya di depan semua orang membuat hati Lintang terus bergetar. Ia khawatir jika waktunya tiba tidak akan sanggup berpisah dengan lelaki berkaca mata itu.

 

Namun, jangan ditanya perlakuan Satya di dalam kamar. Lelaki dengan manik mata sekelam malam itu akan bersikap tak acuh pada Lintang. Ia bahkan membatasi ranjang dengan guling besar karena di kamar Lintang hanya ada satu tempat tidur besar. Tak seinchi pun perhatian Satya teralih padanya membuat Lintang seperti terlempar ke dasar jurang yang gelap.

 

Genap tujuh hari Satya menikmati cuti demi menjalani rangkaian prosesi pernikahan yang telah diatur sang bunda. Ia sebenarnya ingin pernikahan sederhana. Toh nanti mereka akan berpisah juga, jadi tidak perlu repot-repot menghabiskan banyak uang. Namun, ia tidak kuasa menolak kehendak bundanya yang telah menyusun rencana dengan matang.

 

Hari ini Satya bersiap kembali ke Bandung dan Lintang masih akan tinggal di Yogyakarta untuk menyelesaikan skripsinya yang hampir rampung.

 

Tiba-tiba, terbit keinginan Lintang untuk melihat-lihat ponsel Satya, satu hal yang belum pernah dilakukannya selama tujuh hari bersama. Kebetulan suaminya meninggalkan ponsel di atas nakas saat mandi. Kamarnya tidak memiliki kamar mandi dalam sehingga Lintang punya cukup waktu untuk membuka-buka ponsel Satya.

 

Ia menarik napas lega ketika ponsel Satya tidak bersandi. Segera dibukanya aplikasi hijau. Ternyata masih terbuka chat dengan seseorang bernama Hanum. Jemari lentik Lintang segera menyusuri deretan kalimat dalam chat tersebut.

 

“Aku sudah bicara dengan Lintang. Hanya tiga bulan dan aku akan kembali.” Demikian tulis Satya dalam satu chat.

 

“Kamu sabar ya, Sayang. Tiga bulan tidak lama,” tulis Satya di chat berikutnya setelah Hanum mempertanyakan berapa lama ia harus menunggu.

 

Lintang tidak mampu membendung riak-riak di hatinya. Perlahan sudut matanya mengalirkan luka menyadari takada tempat baginya di sudut hati Satya. Haruskah ia menjanda di usia muda? Tiba-tiba pertanyaan itu menjajah perasaannya, menerbitkan rasa risau. Bagaimana ia akan menghadapi omongan orang ketika waktu perpisahan itu tiba? Tiba-tiba Lintang merasa seolah bumi tempatnya berpijak terbelah dan menelan tubuhnya. Ia menggelepar dalam gelap, mencoba meraih cinta yang takpasti. *